Menteri Perdagangan: Masyarakat Bebas Memilih Berbelanja Online atau Offline

Menteri Perdagangan: Masyarakat Bebas Memilih Berbelanja Online atau Offline

Menteri Perdagangan: Masyarakat Bebas Memilih Berbelanja Online atau Offline

Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan bahwa masyarakat kini memiliki kebebasan penuh untuk memilih cara berbelanja yang paling sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka, baik melalui platform e-commerce (online) maupun secara langsung di toko ritel (offline). Pernyataan ini disampaikan di tengah dinamika perubahan perilaku konsumen dan tantangan yang dihadapi industri ritel.

"Kalau lebih murah, harga bagus, pasti milih di offline. Tapi kalau ternyata melihat di online juga bagus atau murah ya silakan," ujar Budi kepada awak media di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis, 17 Juli 2025. Pernyataan ini mencerminkan pandangan pemerintah yang netral dan adaptif terhadap perkembangan tren belanja di era digital.

Budi Santoso tidak mempersoalkan kecenderungan masyarakat yang gemar membandingkan harga antara toko ritel fisik dan platform e-commerce. Menurutnya, perilaku ini adalah hal yang wajar dan rasional. "Orang kan pasti mencari harga yang murah dengan kualitas yang bagus," imbuhnya.

Ia mengakui bahwa setiap metode berbelanja memiliki keunggulan tersendiri. Berbelanja langsung di toko ritel memungkinkan konsumen untuk memeriksa kualitas produk secara langsung, merasakan teksturnya, dan memastikan kesesuaian dengan harapan mereka. Di sisi lain, belanja daring menawarkan kemudahan akses, variasi produk yang lebih luas, dan potensi harga yang lebih kompetitif.

Bahkan, Budi menyoroti inovasi dalam belanja daring, seperti fitur live shopping, yang memungkinkan konsumen untuk berinteraksi langsung dengan penjual, melihat demonstrasi produk, dan mendapatkan informasi yang lebih detail sebelum membuat keputusan pembelian. "Persaingan offline dan online kan setara. Jadi, silahkan aja ngecek-ngecek ke offline, tapi akhirnya bisa aja beli di online," jelasnya.

Menanggapi fenomena ini, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Solihin menyatakan bahwa pihaknya tidak melakukan pemantauan khusus terhadap pola belanja konsumen. Ia menganggap perilaku membandingkan harga sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah dalam dunia perdagangan. "(Lihat) harga yang enggak cocok (kemudian) cari yang lebih murah kan umum," kata Solihin.

Namun, di balik kebebasan memilih dan kemudahan yang ditawarkan, industri ritel sedang menghadapi tantangan yang signifikan. Memasuki paruh pertama tahun 2025, bisnis ritel di Indonesia dan secara global menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang semakin nyata. Sejumlah pusat perbelanjaan mulai sepi pengunjung, bahkan beberapa di antaranya terpaksa menutup operasional secara permanen. Selain itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan bisnis ritel juga kerap terjadi, menandai kemunduran bisnis ritel yang sudah terlihat sejak awal tahun. Kondisi ini tentu menjadi kekhawatiran bagi banyak pelaku usaha.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2025 mengalami perlambatan. Laju pertumbuhan konsumsi yang lesu ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pada kuartal pertama tahun ini.

Makin menurunnya daya beli masyarakat menjadi salah satu faktor utama yang menekan industri ritel. Akibat kondisi ini, beberapa perusahaan ritel terpaksa mengambil langkah-langkah strategis, seperti menutup gerai yang kurang menguntungkan atau mengubah model bisnis mereka agar lebih relevan dengan perubahan perilaku konsumen.

Banyak pihak menuding niaga elektronik atau e-commerce sebagai penyebab utama kemunduran bisnis ritel modern. Penilaian ini tidak sepenuhnya keliru, mengingat pasar digital memiliki jangkauan yang lebih luas, proses transaksi yang lebih cepat, biaya operasional yang lebih rendah, dan fleksibilitas transaksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan toko ritel fisik. Namun, perlu diingat bahwa manfaat ini kini juga telah dirasakan oleh peritel modern yang telah membuka lapak belanja daring.

Faktor utama yang menyebabkan kemunduran bisnis peritel modern sebenarnya adalah perubahan perilaku konsumen yang semakin dinamis. Pada era 1990-an dan 2000-an, hypermarket menjadi simbol kemajuan ekonomi modern di Indonesia. Banyak keluarga secara rutin menghabiskan waktu berjam-jam untuk menelusuri lorong-lorong pasar swalayan raksasa dengan troli besar, memenuhi kebutuhan rumah tangga setelah menerima gaji bulanan.

Namun, kebiasaan berbelanja bulanan seperti itu kini mulai berkurang secara signifikan. Ada yang berpendapat bahwa pusat belanja menjadi sepi akibat pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas masyarakat di luar rumah. Namun, kenyataannya, jauh setelah masa pandemi berlalu, banyak keluarga yang memilih untuk berbelanja kebutuhan dengan rentang waktu yang lebih singkat dan frekuensi yang lebih sering.

Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk gaya hidup yang semakin sibuk, aksesibilitas yang lebih mudah ke berbagai pilihan belanja (baik online maupun offline), dan preferensi konsumen yang semakin beragam. Konsumen kini lebih cenderung mencari pengalaman berbelanja yang personal, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan mereka saat itu.

Dalam menghadapi tantangan ini, pelaku bisnis ritel perlu beradaptasi dan berinovasi agar tetap relevan dan kompetitif di pasar yang terus berubah. Beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Mengintegrasikan pengalaman belanja online dan offline (omnichannel): Menawarkan pengalaman berbelanja yang mulus dan terintegrasi di berbagai saluran, sehingga konsumen dapat dengan mudah beralih antara toko fisik, website, aplikasi mobile, dan media sosial.
  2. Memperkuat identitas merek dan menciptakan pengalaman yang unik: Membangun citra merek yang kuat dan menawarkan pengalaman berbelanja yang berbeda dari pesaing, misalnya melalui desain toko yang menarik, pelayanan pelanggan yang personal, atau acara-acara promosi yang kreatif.
  3. Memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan personalisasi: Mengadopsi teknologi seperti analisis data, kecerdasan buatan (AI), dan augmented reality (AR) untuk memahami perilaku konsumen, mengoptimalkan operasi, dan menawarkan rekomendasi produk yang relevan.
  4. Berkolaborasi dengan platform e-commerce dan penyedia layanan lainnya: Membangun kemitraan strategis dengan platform e-commerce, penyedia layanan logistik, dan perusahaan teknologi untuk memperluas jangkauan pasar dan meningkatkan efisiensi operasional.
  5. Fokus pada produk dan layanan yang berkualitas dan berkelanjutan: Memenuhi tuntutan konsumen yang semakin peduli terhadap kualitas produk, keberlanjutan lingkungan, dan tanggung jawab sosial perusahaan.

Dengan beradaptasi dan berinovasi, pelaku bisnis ritel dapat mengatasi tantangan yang ada dan memanfaatkan peluang di pasar yang terus berkembang. Kebebasan memilih yang diberikan kepada konsumen akan mendorong persaingan yang sehat dan inovasi yang berkelanjutan di industri ritel. Pemerintah juga memiliki peran penting dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, mendukung inovasi, dan melindungi konsumen. Dengan sinergi antara pelaku usaha, pemerintah, dan konsumen, industri ritel Indonesia dapat terus tumbuh dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional.

Artikel ini ditulis dengan kontribusi dari Caesar Akbar dan Riani Sanusi Putri.

Menteri Perdagangan: Masyarakat Bebas Memilih Berbelanja Online atau Offline

More From Author

Bank Indonesia Gelar Event Explore Babel 2025, Pameran UMKM Terbesar di Babel

KKP Setor PNBP Rp 2,2 Triliun Sepanjang 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *