MA Kabulkan PK Setya Novanto: Hukuman Penjara Dipotong Jadi 12,5 Tahun

MA Kabulkan PK Setya Novanto: Hukuman Penjara Dipotong Jadi 12,5 Tahun

Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dalam perkara korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang telah merugikan negara hingga triliunan rupiah. Putusan penting ini secara signifikan memangkas masa hukuman penjara Setya Novanto dari vonis awal 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan, sebuah keputusan yang telah memicu berbagai tanggapan dari kalangan hukum maupun publik.

Amar putusan PK bernomor 265 PK/Pid.Sus/2020 yang diumumkan melalui situs resmi MA pada Rabu, 2 Juli, secara tegas menyatakan "Kabul" atas permohonan peninjauan kembali tersebut. Dalam putusannya, majelis hakim PK menyatakan bahwa Setya Novanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini merujuk pada perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, dilakukan secara bersama-sama.

Sebelumnya, pada tingkat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Setya Novanto telah dijatuhi vonis 15 tahun penjara. Vonis ini kemudian diperkuat di tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dan juga oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi. Namun, dengan dikabulkannya PK ini, hukuman pidana penjara yang harus dijalani oleh politikus senior Partai Golkar tersebut kini menjadi 12 tahun dan 6 bulan. Selain pemotongan masa pidana, MA juga tetap menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang apabila tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

Lebih lanjut, putusan PK ini juga menguatkan kewajiban Setya Novanto untuk membayar uang pengganti kerugian negara. Jumlah uang pengganti yang harus dibayarkan adalah sebesar USD 7,3 juta. Dari jumlah tersebut, Setya Novanto diketahui telah membayarkan sebagian, yaitu sekitar Rp 5 miliar. Dengan demikian, sisa uang pengganti yang masih harus dilunasi adalah sekitar Rp 49.052.289.803,00 (empat puluh sembilan miliar lima puluh dua juta dua ratus delapan puluh sembilan ribu delapan ratus tiga rupiah). Mahkamah Agung menegaskan bahwa apabila uang pengganti tersebut tidak dibayarkan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta benda terpidana akan disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi kerugian negara. Namun, jika harta benda yang disita tidak mencukupi untuk melunasi kewajiban tersebut, maka akan diganti dengan pidana penjara tambahan selama 2 tahun.

Selain hukuman pokok dan denda, Setya Novanto juga dijatuhi pidana tambahan berupa larangan menduduki jabatan publik. Pidana tambahan ini berupa pencabutan hak politik, yakni larangan untuk menduduki jabatan publik selama 2 tahun 6 bulan. Larangan ini akan mulai berlaku setelah Setya Novanto selesai menjalani pidana pokoknya, yang berarti ia tidak akan dapat kembali berkiprah di dunia politik atau jabatan pemerintahan dalam waktu dekat setelah keluar dari penjara.

Kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto merupakan salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia, dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 2,3 triliun dari total nilai proyek sebesar Rp 5,9 triliun. Proyek pengadaan e-KTP ini seharusnya menjadi tonggak penting dalam modernisasi data kependudukan Indonesia, namun justru disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Setya Novanto, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI dan sebelumnya Ketua Fraksi Partai Golkar, dianggap memiliki peran sentral dalam memuluskan anggaran proyek dan mendapatkan keuntungan pribadi dari mega proyek tersebut.

Perjalanan kasus Setya Novanto penuh liku dan menarik perhatian publik luas. Ia sempat menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir tahun 2017 setelah berkali-kali mangkir dari panggilan penyidik. Momen dramatis "kecelakaan" mobil yang menabrak tiang listrik saat ia hendak dijemput paksa oleh KPK menjadi sorotan dan bahan pembicaraan di seluruh negeri, menambah citra negatif terhadap dirinya. Setelah berhasil ditangkap dan menjalani proses hukum, Setya Novanto mulai ditahan KPK sejak 17 November 2017. Setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap (inkrah), ia lalu dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, sejak 4 Mei 2018.

Dengan putusan PK yang memotong hukumannya menjadi 12,5 tahun, Setya Novanto, yang sudah menjalani masa penahanan dan pidana sejak November 2017, kini telah menjalani sekitar 7,5 tahun masa pidana. Ini berarti, jika tidak ada remisi atau kebijakan lain, ia diperkirakan masih harus menjalani sisa hukuman sekitar 5 tahun lagi sebelum dapat menghirup udara bebas.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa, 24 April 2018, Setya Novanto dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menerima keuntungan sebesar USD 7,3 juta dan sebuah jam tangan mewah merek Richard Mille RM011 seharga USD 135 ribu dari proyek e-KTP. Hakim menilai bahwa perbuatan Setya Novanto telah memperkaya diri sendiri dan orang lain serta korporasi, yang secara langsung menyebabkan kerugian besar bagi keuangan negara. Atas vonis 15 tahun penjara tersebut, Setya Novanto pada awalnya menyatakan telah menerima putusan. Namun, setelah setahun lebih menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin, ia memutuskan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali.

Pengajuan PK adalah hak terpidana dan merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan jika terdapat kekhilafan hakim atau adanya keadaan baru (novum) yang dapat mengubah putusan. Dalam kasus Setya Novanto, meski detail mengenai novum yang diajukan tidak dipublikasikan secara spesifik, pengabulan PK oleh MA menunjukkan bahwa majelis hakim PK menemukan alasan yang cukup untuk mengurangi masa pidana yang dijatuhkan sebelumnya. Majelis hakim PK untuk perkara Setya Novanto ini terdiri dari sejumlah hakim agung yang kompeten, yang menelaah kembali seluruh fakta hukum dan argumen yang diajukan oleh pemohon.

Putusan MA ini tentu saja menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat dan pegiat anti-korupsi. Beberapa pihak menyayangkan putusan yang dianggap terlalu ringan untuk kasus korupsi dengan skala besar dan dampak kerugian negara yang fantastis. Mereka khawatir putusan ini dapat menjadi preseden buruk dan mengurangi efek jera bagi pelaku korupsi lainnya. Di sisi lain, kalangan hukum berpendapat bahwa putusan PK adalah bagian dari sistem peradilan yang sah dan harus dihormati, sebagai bentuk koreksi terhadap potensi kekhilafan dalam putusan sebelumnya. PK adalah wujud dari prinsip keadilan yang mengedepankan kepastian hukum dan perlindungan hak-hak terpidana.

Terlepas dari perdebatan yang muncul, keputusan Mahkamah Agung ini menandai babak baru dalam perjalanan kasus korupsi e-KTP yang telah lama menyita perhatian publik. Kasus ini tetap menjadi salah satu contoh kompleksitas penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, di mana upaya hukum dapat terus berjalan hingga tingkat akhir, bahkan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Setya Novanto kini akan melanjutkan sisa masa pidananya dengan putusan yang lebih ringan, namun tetap dengan beban denda dan uang pengganti yang besar serta larangan berpolitik setelah bebas.

MA Kabulkan PK Setya Novanto: Hukuman Penjara Dipotong Jadi 12,5 Tahun

More From Author

Dicky Kartikoyono Uji Kelayakan Calon Deputi Gubernur BI, Tekankan Ketidakpastian Ekonomi

Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Deputi Gubernur BI di DPR, Ini Visi Misi Ricky P. Gozali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *