Mengapa Pemanfaatan Panas Bumi untuk EBT Masih Minim?

Mengapa Pemanfaatan Panas Bumi untuk EBT Masih Minim?

Mengapa Pemanfaatan Panas Bumi untuk EBT Masih Minim?

Indonesia, sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, menyimpan ironi dalam pemanfaatan sumber daya alamnya untuk energi baru terbarukan (EBT). Cadangan panas bumi yang diperkirakan mencapai 24 gigawatt (GW) seharusnya menjadi modal utama dalam transisi energi bersih. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan panas bumi untuk EBT baru mencapai sekitar 12 persen dari potensi yang ada. Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Julfi Hadi, menyoroti lambatnya kemajuan ini sebagai masalah krusial yang perlu segera diatasi.

Stagnasi Pemanfaatan Panas Bumi: Akar Permasalahan

Julfi Hadi, dalam forum Indonesia International Geothermal Workshop (IIGW) 2025, mengungkapkan keprihatinannya atas stagnasi pemanfaatan panas bumi di Indonesia. Ia menekankan bahwa meskipun potensi panas bumi telah menjadi perbincangan selama lebih dari 30 tahun, perkembangannya masih jauh dari optimal. Beberapa faktor utama yang menyebabkan kondisi ini antara lain:

  1. Paradigma dan Model Bisnis Usang: Pendekatan konvensional dalam pengembangan panas bumi dinilai tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman. Model bisnis yang ada cenderung fokus pada pembangkitan listrik semata, tanpa mempertimbangkan potensi nilai tambah yang lebih besar.

  2. Risiko Eksplorasi yang Tinggi: Eksplorasi panas bumi membutuhkan investasi besar dan memiliki risiko kegagalan yang signifikan. Ketidakpastian ini menjadi penghalang bagi investor untuk berinvestasi dalam pengembangan panas bumi.

  3. Biaya Investasi yang Besar: Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) membutuhkan biaya investasi yang sangat besar. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi pengembang swasta yang memiliki keterbatasan modal.

  4. Keterbatasan Jaringan Transmisi: Infrastruktur jaringan transmisi yang belum memadai menjadi kendala dalam menyalurkan energi panas bumi dari lokasi pembangkit ke pusat-pusat потребления. Keterbatasan ini menghambat pengembangan PLTP di daerah-daerah terpencil yang memiliki potensi panas bumi yang besar.

Pendekatan Baru: Mendorong Industrialisasi Hijau dan Kesejahteraan Masyarakat

Julfi Hadi menekankan perlunya pendekatan baru yang lebih progresif dan terintegrasi dalam pengembangan panas bumi. Ia meyakini bahwa panas bumi tidak hanya dapat menjadi sumber listrik ramah lingkungan, tetapi juga dapat mendorong industrialisasi hijau dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa langkah yang perlu diambil antara lain:

  1. Pengembangan Model Bisnis Terintegrasi: Model bisnis yang baru harus mempertimbangkan potensi pemanfaatan panas bumi secara lebih luas, tidak hanya untuk pembangkitan listrik. Panas bumi dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti pemanasan distrik, pertanian, dan industri.

  2. Pendekatan Bertahap (Staged Development): Pengembangan panas bumi sebaiknya dilakukan secara bertahap untuk mengurangi risiko dan mempercepat proses operasional. Tahapan pengembangan dapat dimulai dari eksplorasi, uji coba, hingga pembangunan PLTP skala komersial.

  3. Adopsi Teknologi Baru: Pemanfaatan teknologi baru seperti modular power plant, co-generation, dan electrical submersible pumps dapat meningkatkan produksi dan mempercepat jadwal operasional proyek (Commercial Operational Date/COD).

  4. Skema Insentif Fiskal dan Non-Fiskal yang Menarik: Pemerintah perlu menyediakan skema insentif fiskal dan non-fiskal yang lebih menarik bagi investor. Insentif ini dapat berupa pengurangan pajak, subsidi bunga, atau jaminan risiko.

Kerja Sama API dan Kementerian ESDM: Merumuskan Skema Insentif yang Tepat

API bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk merumuskan skema insentif yang lebih tepat bagi pengembangan panas bumi. Tujuan dari kerja sama ini adalah untuk membantu pengembang menekan biaya modal (capital expenditure) dan biaya operasional (operational expenditure), sekaligus meningkatkan efisiensi serta nilai ekonomi proyek.

Pengembangan Jaringan Transmisi Skala Besar (Supergrid): Tulang Punggung Energi Bersih Indonesia

Julfi Hadi menekankan pentingnya pengembangan jaringan transmisi berskala besar atau supergrid. Transmisi ini akan menjadi infrastruktur kunci untuk menjadikan panas bumi sebagai motor utama dalam transisi energi dan ketahanan pasokan nasional. Supergrid akan memungkinkan penyaluran energi panas bumi dari berbagai lokasi pembangkit ke seluruh wilayah Indonesia.

Manfaat Pengembangan Supergrid:

  • Meningkatkan Pemanfaatan Panas Bumi: Supergrid akan membuka peluang pengembangan PLTP di daerah-daerah terpencil yang memiliki potensi panas bumi yang besar.
  • Meningkatkan Keandalan Pasokan Listrik: Supergrid akan menghubungkan berbagai sumber energi, termasuk panas bumi, sehingga dapat meningkatkan keandalan pasokan listrik secara nasional.
  • Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca: Pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi bersih akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
  • Mendorong Pertumbuhan Ekonomi: Pengembangan supergrid akan menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang dilalui jaringan transmisi.

Tantangan Pengembangan Supergrid:

  • Biaya Investasi yang Besar: Pembangunan supergrid membutuhkan biaya investasi yang sangat besar.
  • Perizinan dan Pembebasan Lahan: Proses perizinan dan pembebasan lahan untuk pembangunan supergrid dapat memakan waktu yang lama.
  • Koordinasi Antar Lembaga: Pembangunan supergrid membutuhkan koordinasi yang baik antara berbagai lembaga pemerintah dan swasta.

Peran Pemerintah dalam Mendorong Pemanfaatan Panas Bumi

Pemerintah memiliki peran kunci dalam mendorong pemanfaatan panas bumi untuk EBT. Beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah antara lain:

  1. Membuat Kebijakan yang Mendukung: Pemerintah perlu membuat kebijakan yang jelas dan konsisten untuk mendukung pengembangan panas bumi. Kebijakan ini harus mencakup insentif fiskal dan non-fiskal, serta kemudahan perizinan.

  2. Menyediakan Infrastruktur yang Memadai: Pemerintah perlu menyediakan infrastruktur yang memadai untuk mendukung pengembangan panas bumi, seperti jaringan transmisi dan jalan akses.

  3. Melakukan Riset dan Pengembangan: Pemerintah perlu melakukan riset dan pengembangan untuk meningkatkan teknologi pemanfaatan panas bumi.

  4. Meningkatkan Kesadaran Masyarakat: Pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat panas bumi sebagai sumber energi bersih.

Kesimpulan

Pemanfaatan panas bumi untuk EBT di Indonesia masih jauh dari optimal. Stagnasi ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk paradigma dan model bisnis yang usang, risiko eksplorasi yang tinggi, biaya investasi yang besar, serta keterbatasan jaringan transmisi. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan baru yang lebih progresif dan terintegrasi. Pemerintah dan pelaku industri perlu bekerja sama untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan mendorong pemanfaatan panas bumi secara optimal. Dengan demikian, panas bumi dapat menjadi tulang punggung energi bersih Indonesia dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pengembangan supergrid menjadi kunci dalam mewujudkan visi ini, meskipun tantangan yang ada perlu diatasi dengan strategi yang matang dan koordinasi yang efektif.

Mengapa Pemanfaatan Panas Bumi untuk EBT Masih Minim?

More From Author

Harta Dua Calon Deputi Gubernur BI yang Jalani Uji Kelayakan dan Kepatutan

Ahmad Dofiri Resmi Lepas Jabatan Wakapolri, Siapa Penggantinya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *