
Mengapa Hashim Djojohadikusumo Butuh Waktu 12 Tahun untuk Buka Pabrik di Aceh
Hashim Djojohadikusumo, seorang tokoh pengusaha terkemuka dan adik kandung Presiden Prabowo Subianto, baru-baru ini mengungkapkan tantangan yang dihadapinya dalam mendirikan pabrik karet di Aceh. Pengakuan ini muncul saat peresmian pabrik solder PT Solder Tin Andalan Indonesia (STANIA) di Batam, Kepulauan Riau, sebuah anak perusahaan dari Arsari Tambang yang dipimpinnya. Peresmian pabrik solder ini menjadi momen penting, bukan hanya karena ekspansi bisnis Arsari Tambang, tetapi juga karena refleksi Hashim mengenai perjalanan panjangnya dalam berinvestasi di Indonesia, khususnya di Aceh. Kisah di balik pendirian pabrik karet di Aceh menjadi sorotan utama, mengungkap kompleksitas investasi di tengah dinamika politik dan ekonomi.
Dalam sambutannya di Batam, Hashim menyampaikan bahwa meskipun ia telah membangun berbagai proyek besar lainnya, seperti pabrik semen dan petrokimia, peresmian pabrik solder ini memiliki makna tersendiri. Ia mengungkapkan kebahagiaannya atas terealisasinya proyek ini, yang membuktikan bahwa Indonesia mampu membangun industri solder yang kompetitif. Namun, sorotan utama tertuju pada pengalamannya mendirikan pabrik karet remah di Aceh, sebuah proyek yang memakan waktu 12 tahun untuk terwujud.
Hashim menceritakan bahwa pabrik karet remah di Aceh, yang menelan investasi sebesar Rp 600 miliar, membutuhkan waktu yang sangat lama untuk didirikan dibandingkan dengan proyek-proyek lain yang lebih besar. Sebagai perbandingan, ia menyebutkan proyek pembangunan pabrik nikel senilai 6 miliar US Dollar di Maluku Utara yang hanya memerlukan waktu 4-5 tahun. Perbedaan signifikan dalam jangka waktu ini memicu pertanyaan mendalam tentang faktor-faktor yang menghambat investasi di Aceh.
Jawaban Hashim atas pertanyaan tersebut cukup mengejutkan dan memicu gelak tawa dari para tamu undangan. Ia mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama lamanya proses pendirian pabrik karet di Aceh adalah karena posisinya sebagai oposisi pada saat itu. Status oposisi ini, menurut Hashim, berdampak signifikan pada kemampuannya untuk mendapatkan dukungan finansial dan perizinan yang diperlukan. Ia mengklaim bahwa karena posisinya sebagai oposisi, ia kesulitan mendapatkan kredit dari lembaga keuangan manapun. Akibatnya, ia harus menggunakan dana pribadi, yang juga dialokasikan untuk biaya kampanye politik, untuk membiayai proyek tersebut.
Pengakuan Hashim ini menyoroti realitas kompleks dalam lanskap investasi di Indonesia, di mana faktor politik dapat memainkan peran penting dalam keberhasilan atau kegagalan sebuah proyek. Meskipun demikian, Hashim menegaskan bahwa meskipun menghadapi berbagai rintangan, ia berhasil mewujudkan proyek pabrik karet di Aceh. Ia menekankan pentingnya persatuan dan kerjasama antara semua elemen bangsa, tanpa memandang apakah mereka berada di pihak oposisi atau pemerintah. Menurutnya, tidak seharusnya ada perlakuan diskriminatif terhadap investor berdasarkan afiliasi politik mereka.
Lebih lanjut, Hashim berharap bahwa pengalamannya ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi para pemangku kepentingan di Indonesia. Ia menyerukan agar pemerintah dan lembaga keuangan memberikan dukungan yang sama kepada semua investor yang memiliki komitmen untuk mengembangkan ekonomi Indonesia, tanpa memandang latar belakang politik mereka. Ia juga menekankan pentingnya menciptakan iklim investasi yang kondusif, yang didasarkan pada transparansi, kepastian hukum, dan kemudahan perizinan.
Pernyataan Hashim ini juga menggarisbawahi pentingnya stabilitas politik dalam menarik investasi. Ketidakpastian politik dapat menciptakan keraguan di kalangan investor, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk menjaga stabilitas politik dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi.
Selain menyoroti tantangan yang dihadapi dalam berinvestasi di Aceh, Hashim juga menekankan pentingnya hilirisasi industri. Ia menyatakan bahwa pabrik solder PT STANIA merupakan bagian dari upaya Arsari Tambang untuk meningkatkan nilai tambah produk timah Indonesia. Dengan mengolah timah menjadi produk solder, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan ekspor produk bernilai tambah tinggi.
Hashim juga mengungkapkan rencana untuk mengembangkan pabrik solder PT STANIA lebih lanjut. Saat ini, pabrik tersebut baru memiliki satu lini produksi, namun ia berencana untuk menambah hingga delapan lini produksi di masa depan. Ia berharap bahwa dengan pengembangan ini, PT STANIA dapat menjadi pemain utama dalam industri solder di Indonesia dan bahkan di tingkat regional.
Sementara itu, Aryo P. S. Djojohadikusumo, Direktur Utama Arsari Tambang dan putra Hashim, menyampaikan bahwa berdirinya PT STANIA merupakan bukti bahwa Indonesia mampu berbuat lebih baik, terlepas dari kritik terhadap pemerintah. Ia menekankan bahwa meskipun proyek ini tidak bernilai besar secara finansial, namun memiliki makna penting dalam menunjukkan kemampuan Indonesia untuk mengembangkan industri manufaktur yang kompetitif.
Pernyataan Aryo ini mencerminkan optimisme generasi muda terhadap potensi Indonesia. Ia percaya bahwa dengan kerja keras, inovasi, dan dukungan dari semua pihak, Indonesia dapat mencapai kemajuan yang signifikan dalam berbagai bidang, termasuk industri manufaktur. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah dalam mewujudkan visi Indonesia yang lebih maju.
Peresmian pabrik solder PT STANIA dan kisah di balik pendirian pabrik karet di Aceh memberikan gambaran yang komprehensif tentang dinamika investasi di Indonesia. Kisah Hashim Djojohadikusumo ini bukan hanya sekadar cerita tentang tantangan dan keberhasilan seorang pengusaha, tetapi juga refleksi tentang pentingnya stabilitas politik, dukungan pemerintah, dan semangat persatuan dalam membangun ekonomi Indonesia yang lebih kuat dan inklusif. Pengalamannya menjadi pelajaran berharga bagi para investor, pembuat kebijakan, dan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif dan mendorong kolaborasi antara semua pihak, Indonesia dapat mencapai potensi ekonominya yang penuh.
