Krisis Legitimasi di Balik Layar: BPI Merasa Dikhianati, Ario Bayu Bersikukuh FFI Berjalan Sesuai Tugas dan Fungsi

Krisis Legitimasi di Balik Layar: BPI Merasa Dikhianati, Ario Bayu Bersikukuh FFI Berjalan Sesuai Tugas dan Fungsi

Kabar tak sedap menyelimuti jagat perfilman nasional, di mana Badan Perfilman Indonesia (BPI) secara terang-terangan melayangkan tudingan pengkhianatan terhadap Festival Film Indonesia (FFI). Pemicu utamanya adalah absennya logo BPI dalam poster pengumuman penyelenggaraan FFI tahun 2024 yang mengusung tema "Puspawarna Film Indonesia". Insiden ini, yang terkesan sepele di permukaan, ternyata memicu retakan mendalam dalam hubungan dua entitas penting di industri film Tanah Air, membangkitkan pertanyaan tentang legitimasi, akuntabilitas, dan masa depan kolaborasi.

Ketua Komite FFI, aktor Ario Bayu, dalam konferensi pers peluncuran FFI 2024 yang digelar di kawasan Senayan, Jakarta, pada Senin, 22 April 2024, mencoba meredakan ketegangan. Ia menyampaikan bahwa FFI berkomitmen untuk menyertakan logo semua pihak yang mendukung acara tersebut di masa mendatang. "Kami akan memakai nanti logo-logo semua teman-teman yang mendukung kita ke depannya," ujar Ario, memberikan sinyal inklusivitas meskipun logo BPI absen dalam rilis awal. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa ketidakhadiran logo BPI mungkin merupakan sebuah kelalaian teknis atau strategis, bukan disengaja untuk mengabaikan BPI sepenuhnya.

Lebih lanjut, Ario Bayu menegaskan bahwa FFI, di bawah kepemimpinannya, senantiasa berpegang teguh pada tugas dan fungsinya. Ia menekankan bahwa Komite FFI menjalankan amanat yang diberikan oleh Kementerian Kebudayaan. "Kalau kami tetap berjalan sesuai tugas dan fungsi kami, di mana amanat kami itu juga diberikan oleh Kementerian Kebudayaan dan yang untuk dari FFI itu sendiri, mendukung kami," jelas Ario. Ia juga menambahkan bahwa dukungan terhadap FFI datang dari berbagai pihak, termasuk Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APROFI), seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) film, insan perfilman, dan bahkan, secara ironis, dari BPI itu sendiri. Pernyataan ini menggambarkan FFI sebagai sebuah entitas yang didukung luas oleh ekosistem perfilman dan beroperasi di bawah payung legitimasi kementerian, mencoba menepis anggapan bahwa mereka berjalan sendiri atau melawan arus.

Mengenai sikap BPI yang menarik diri dan tudingan pengkhianatan, Ario Bayu memilih untuk tidak memberikan tanggapan secara eksplisit. Ia justru menegaskan bahwa dari pihak FFI, mereka merasa tidak ada masalah yang signifikan dengan BPI. "Kalau dari kami, kami merasa tidak ada apa-apa. Karena kami, jujur saja, kembali lagi, kami memeluk semua teman-teman yang mendukung perfilman Indonesia," tuturnya, menunjukkan sikap yang cenderung akomodatif dan tidak ingin memperkeruh suasana. Sikap ini bisa diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan citra FFI sebagai ajang pemersatu, bukan pemicu perpecahan.

Namun, di balik pernyataan Ario yang menenangkan, ada persoalan fundamental yang diungkap oleh Ketua BPI, Gunawan Paggaru. Menurut Gunawan, akar permasalahan bermula dari penemuan adanya Surat Keputusan (SK) baru dari Direktorat Jenderal Kebudayaan yang sama sekali tidak menyinggung atau melibatkan BPI dalam struktur atau proses penyelenggaraan FFI. Hal ini menjadi pukulan telak bagi BPI, yang merasa peran dan mandat mereka telah diabaikan. Ario Bayu sendiri mengaku tidak mengetahui perihal SK baru tersebut dan belum pernah membicarakannya secara langsung dengan Gunawan. "Saya tidak tahu. Saya tidak tahu maksudnya itu perbincangan apa dan saya juga tidak bicara langsung," ungkap Ario, mengindikasikan adanya miskomunikasi atau kurangnya koordinasi di tingkat yang lebih tinggi.

Konflik ini ternyata bukan baru muncul tiba-tiba. Gunawan Paggaru menjelaskan bahwa ketegangan sudah tercium sejak Januari 2025 (kemungkinan besar maksudnya Januari 2024, mengingat waktu kejadian berita). Kala itu, BPI berinisiatif untuk meminta pertanggungjawaban terkait penyelenggaraan FFI 2024. BPI kemudian melayangkan surat undangan resmi kepada Ario Bayu sebagai Ketua Komite FFI untuk bertemu dan membahas hal tersebut. Namun, undangan pertama ini tidak diindahkan oleh Komite FFI. Karena tidak ada respons, BPI kembali mengirimkan surat undangan kedua pada Maret 2025. Pada undangan kedua inilah Komite FFI akhirnya datang dan menghadiri pertemuan. Namun, kekecewaan BPI memuncak karena kehadiran Komite FFI saat itu ternyata bukan untuk menjelaskan pertanggungjawaban penyelenggaraan atau membahas hal-hal substansial terkait FFI, melainkan seolah hanya memenuhi formalitas tanpa substansi.

Gunawan Paggaru menegaskan bahwa BPI bukanlah organisasi sembarangan. Keberadaan dan perannya adalah amanat langsung dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Undang-undang ini secara jelas menggariskan fungsi dan kedudukan BPI sebagai lembaga non-struktural yang independen, bertugas untuk mengembangkan perfilman nasional, memberikan rekomendasi kebijakan, serta berperan dalam menjaga ekosistem perfilman Indonesia. Oleh karena itu, bagi BPI, tindakan FFI yang mengabaikan peran mereka, terutama dalam konteks adanya SK baru yang tidak mencantumkan BPI, merupakan sebuah pelanggaran terhadap amanat undang-undang. "Sikap FFI sudah melawan Undang-Undang," tegas Gunawan.

Lebih lanjut, Gunawan mengungkapkan bahwa Ketua Komite FFI, termasuk Ario Bayu, secara historis ditunjuk langsung oleh BPI. Selama beberapa tahun belakangan, penyelenggaraan FFI juga dapat terlaksana berkat integrasi dan dukungan dari BPI. Ini berarti, menurut BPI, FFI memiliki ikatan sejarah dan struktural yang kuat dengan BPI, sehingga pengabaian peran BPI saat ini terasa seperti "pengkhianatan" terhadap fondasi kerja sama yang telah terbangun. BPI merasa bahwa FFI telah melupakan akar dukungannya dan melangkah sendiri tanpa mempertimbangkan posisi BPI sebagai lembaga yang diamanatkan undang-undang untuk mengawal perkembangan perfilman nasional, termasuk event-event penting seperti FFI.

Konflik antara BPI dan FFI ini menggambarkan lebih dari sekadar perselisihan logo atau miskomunikasi. Ini adalah cerminan dari perebutan otoritas dan legitimasi dalam ekosistem perfilman Indonesia. Di satu sisi, FFI, yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan dan berbagai pemangku kepentingan, merasa telah berjalan sesuai koridor tugasnya. Di sisi lain, BPI, yang berlandaskan pada Undang-Undang Perfilman, merasa perannya dilemahkan dan mandatnya diabaikan.

Implikasi dari konflik ini bisa sangat luas. FFI, sebagai ajang penghargaan film paling bergengsi di Indonesia, membutuhkan legitimasi yang kuat dari seluruh elemen industri. Jika BPI, sebagai badan yang diamanatkan undang-undang, menarik diri atau merasa dikhianati, hal ini bisa menimbulkan keraguan akan kredibilitas dan independensi FFI di mata publik dan pelaku industri. Selain itu, perpecahan semacam ini dapat menghambat kolaborasi yang esensial untuk kemajuan perfilman nasional. Integrasi antara berbagai lembaga dan asosiasi adalah kunci untuk menciptakan ekosistem yang sehat dan berkelanjutan.

Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, memiliki peran krusial dalam menengahi konflik ini. Sebagai pihak yang memberikan "amanat" kepada FFI dan juga menaungi Dirjen yang mengeluarkan SK baru, Kementerian perlu melakukan mediasi dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil selaras dengan Undang-Undang Perfilman. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan, terutama terkait SK yang meniadakan peran BPI, menjadi sangat penting untuk memulihkan kepercayaan.

Masa depan FFI dan hubungan antara berbagai lembaga perfilman di Indonesia sangat bergantung pada bagaimana konflik ini diselesaikan. Diperlukan dialog yang konstruktif dan terbuka antara BPI, Komite FFI, dan Kementerian terkait. Tujuan utama haruslah menciptakan sebuah kerangka kerja yang jelas, menghormati peran masing-masing pihak, dan yang paling penting, melayani kepentingan terbaik bagi kemajuan perfilman Indonesia secara keseluruhan. Tanpa resolusi yang jelas, ketegangan ini berpotensi merusak citra FFI dan mengganggu harmoni yang seharusnya ada dalam industri yang sedang berkembang pesat ini.

Krisis Legitimasi di Balik Layar: BPI Merasa Dikhianati, Ario Bayu Bersikukuh FFI Berjalan Sesuai Tugas dan Fungsi

More From Author

Wamen ESDM Sebut UMKM Bisa Kelola Sumur Minyak Rakyat, Ini Syaratnya

PT Asabri Bakal Minta Modal Rp 2,7 Triliun ke Danantara Pekan Ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *