
Bagaimana Pajak untuk Fasilitas Olahraga Diterapkan di Jakarta?
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan kebijakan baru yang menimbulkan perdebatan hangat: pengenaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10 persen untuk penyewaan berbagai fasilitas olahraga. Kebijakan ini, yang tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025, mulai berlaku sejak 20 Mei 2025, menggantikan aturan sebelumnya, Nomor 854 Tahun 2024. Dampaknya langsung terasa bagi para pengguna fasilitas olahraga di ibu kota, memunculkan pertanyaan tentang keadilan, aksesibilitas, dan dampaknya terhadap gaya hidup sehat masyarakat.
Keputusan ini mencantumkan 21 jenis fasilitas olahraga yang kini dikategorikan sebagai jasa kesenian dan hiburan. Daftar ini mencakup fasilitas yang populer dan banyak digunakan, seperti lapangan futsal, tenis, bulu tangkis, serta aktivitas olahraga yang lebih spesifik seperti yoga, zumba, jetski, ice skating, dan olahraga padel yang popularitasnya sedang meningkat. Dengan cakupan yang luas ini, kebijakan ini berpotensi memengaruhi banyak warga Jakarta yang aktif berolahraga.
Mekanisme Penerapan Pajak
PBJT adalah pajak yang dibebankan kepada konsumen akhir atas konsumsi barang atau jasa tertentu. Dalam konteks fasilitas olahraga, ini berarti bahwa setiap konsumen yang menyewa lapangan atau mengikuti kelas olahraga akan dikenakan tambahan biaya pajak sebesar 10 persen dari harga layanan. Meskipun secara teknis subjek pajaknya adalah penyedia jasa atau pelaku usaha, beban pajak ini pada akhirnya ditanggung oleh konsumen. Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Lebih lanjut, aturan ini juga mengatur situasi di mana konsumen menerima layanan secara gratis atau tanpa transaksi langsung. Dalam kasus seperti ini, pajak tetap dikenakan berdasarkan harga pasar rata-rata untuk layanan serupa di wilayah Jakarta. Hal ini untuk memastikan bahwa semua aktivitas olahraga yang memanfaatkan fasilitas dikenakan pajak, tanpa memandang bagaimana layanan tersebut diperoleh.
Pembelaan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, membela kebijakan ini dengan alasan keadilan antarjenis olahraga yang dikenai pajak hiburan. Ia berpendapat bahwa olahraga padel tidak bisa dikecualikan dari kewajiban pajak, mengingat olahraga lain seperti bulu tangkis, biliar, tenis, dan renang juga dikenai pajak serupa.
"Saya sudah mendapatkan penjelasan padel ini bagian dari olahraga hiburan, bulutangkis saja juga kena, biliar juga kena, tenis juga kena, renang juga kena, masa ini gak kena? Apalagi yang main padel kan rata-rata orang yang mampu," ujarnya dalam pernyataan tertulis pada Sabtu, 5 Juli 2025. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pemerintah memandang olahraga padel sebagai aktivitas yang lebih banyak dinikmati oleh kalangan mampu, sehingga wajar untuk dikenakan pajak.
Kepala Bapenda Jakarta, Lusiana Herawati, menambahkan bahwa pemungutan pajak akan dilakukan secara transparan. Ia mengajak masyarakat untuk tetap menjaga gaya hidup aktif sekaligus berkontribusi untuk pembangunan kota. "Mari tetap berolahraga agar sehat dan riang gembira, sekaligus bergotong royong membayar pajak untuk kebaikan bersama," ujarnya dalam keterangan tertulis pada Jumat, 5 Juli 2025. Pesan ini mencoba menyeimbangkan antara kewajiban membayar pajak dengan manfaat yang diharapkan dari pembangunan kota.
Kritik dari The PRAKARSA: Potensi Hambatan Gaya Hidup Sehat
Kebijakan ini tidak luput dari kritik. Lembaga penelitian dan advokasi kebijakan The PRAKARSA menyuarakan keprihatinan mereka terhadap dampak kebijakan ini. Peneliti kebijakan ekonomi dan fiskal, Ema Kurnia Aminnisa, berpendapat bahwa pajak ini justru bisa menghambat upaya masyarakat untuk hidup sehat, terutama kalangan kelas menengah yang selama ini mengandalkan olahraga seperti futsal, bulu tangkis, dan renang sebagai aktivitas rutin dan terjangkau.
"Berbeda dengan golf yang identik dengan kelas atas, olahraga seperti futsal, bulu tangkis, dan renang umumnya menjadi olahraga yang dilakukan oleh masyarakat kelas menengah," ujar Ema dalam keterangannya pada Selasa, 8 Juli 2025. Pernyataan ini menyoroti perbedaan karakteristik sosial ekonomi antara olahraga yang sudah mapan sebagai hiburan kelas atas dengan olahraga yang lebih inklusif.
Ema juga membandingkan pendekatan pemerintah Indonesia dengan negara-negara maju yang memberikan insentif pajak untuk aktivitas fisik. "Negara seperti Kanada justru menerapkan Children’s Fitness Tax Credit yang memungkinkan orang tua mendapatkan pengurangan pajak atas biaya aktivitas olahraga anak-anak mereka. Inggris juga menerapkan skema Cycle to Work yang membebaskan pajak untuk pembelian sepeda bagi karyawan yang ingin bersepeda menuju tempat kerja," ungkapnya. Perbandingan ini menyoroti potensi pendekatan yang berbeda, di mana pemerintah justru mendorong aktivitas fisik melalui insentif pajak.
Kelas Menengah Sebagai Target Penerimaan Pajak
Ekonom The PRAKARSA, Roby Rushandie, menyatakan bahwa kebijakan ini mencerminkan kecenderungan pemerintah memanfaatkan kelas menengah sebagai sumber penerimaan pajak tambahan, meskipun mereka juga tengah menghadapi tekanan finansial yang makin besar. "Pemerintah biasanya menjadikan kelas menengah sebagai jalan pintas untuk menggenjot penerimaan pajak, padahal mereka juga menghadapi beban keuangan yang semakin besar," ujarnya.
Ia menilai bahwa kelas menengah selama ini merupakan tulang punggung ekonomi dan relatif taat pajak. Karena itu, mereka seharusnya tidak selalu menjadi target kebijakan fiskal yang membebani. Argumen ini menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap kelompok masyarakat yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian.
Alternatif Kebijakan: Pajak Parkir dan Earmarked Tax
Sebagai solusi alternatif, Roby mendorong Pemprov DKI untuk mempertimbangkan sumber pajak lain yang dinilai lebih progresif dan berdampak minimal terhadap akses masyarakat terhadap olahraga. Salah satunya adalah pajak parkir.
"Sebagian besar dari 21 fasilitas olahraga itu digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai kalangan. Sebaiknya Pemprov Jakarta mempertimbangkan potensi pajak parkir yang sejalan dengan upaya pemprov untuk menggalakkan penggunaan transportasi publik," kata Roby. Pajak parkir dianggap lebih progresif karena dikenakan pada pemilik kendaraan, yang diasumsikan memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.
Ia juga menyarankan agar Pemprov menerapkan sistem earmarked tax, di mana penerimaan pajak dari fasilitas olahraga digunakan khusus untuk pembangunan ruang terbuka dan sarana olahraga publik. "Dengan begitu, hasil penerimaan pajak digunakan secara khusus, misalnya untuk memperbaiki dan memperbanyak ruang terbuka publik agar warga Jakarta bisa berolahraga dengan nyaman dan murah," ujarnya. Skema earmarked tax ini dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana pajak, serta memastikan bahwa dana tersebut digunakan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas olahraga.
Implikasi Jangka Panjang dan Pertimbangan Kebijakan
Kebijakan pengenaan pajak untuk fasilitas olahraga di Jakarta ini memiliki implikasi jangka panjang yang perlu dipertimbangkan. Di satu sisi, pemerintah berpotensi meningkatkan penerimaan daerah yang dapat digunakan untuk pembangunan. Di sisi lain, kebijakan ini dapat memengaruhi perilaku masyarakat dalam berolahraga, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi.
Penting bagi pemerintah untuk terus memantau dan mengevaluasi dampak kebijakan ini, serta mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Selain itu, pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif kebijakan lain yang lebih progresif dan dapat mendukung gaya hidup sehat masyarakat tanpa membebani kelompok masyarakat tertentu.
Salah satu pertimbangan penting adalah bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan daerah dengan upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk memberikan insentif pajak bagi aktivitas olahraga tertentu, terutama bagi anak-anak dan remaja. Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan sektor swasta untuk menyediakan fasilitas olahraga yang terjangkau bagi masyarakat.
Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pajak. Masyarakat perlu mengetahui bagaimana dana pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk pembangunan. Pemerintah dapat membuat laporan publik yang menjelaskan secara rinci penggunaan dana pajak dari fasilitas olahraga.
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek ini, pemerintah dapat menciptakan kebijakan yang lebih adil, efektif, dan berkelanjutan, serta dapat mendukung gaya hidup sehat masyarakat Jakarta. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang tidak hanya meningkatkan penerimaan daerah, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Pada akhirnya, implementasi pajak untuk fasilitas olahraga di Jakarta merupakan isu kompleks yang membutuhkan dialog berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Tujuan akhirnya adalah menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat dan aktif bagi seluruh warga Jakarta, tanpa memandang status sosial ekonomi mereka.
