Komisi I DPR Targetkan RUU Penyiaran Rampung Periode Ini

Komisi I DPR Targetkan RUU Penyiaran Rampung Periode Ini

Komisi I DPR Targetkan RUU Penyiaran Rampung Periode Ini

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunjukkan optimisme tinggi terhadap penyelesaian Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran dalam periode legislatif saat ini. Proyek legislasi yang telah bergulir lebih dari satu dekade ini diharapkan dapat segera menemui titik terang. Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, dalam keterangan tertulis pada Selasa, 15 Juli 2025, menyatakan, "Ini dimulai sekitar tahun 2012, sampai hari ini belum juga kunjung selesai, tapi kami memang menargetkan di periode ini bisa segera rampung." Pernyataan ini mencerminkan komitmen kuat dari Komisi I DPR untuk menuntaskan pembahasan RUU yang dianggap krusial bagi perkembangan industri penyiaran di Indonesia.

Upaya untuk menjaring masukan dari berbagai pemangku kepentingan telah dilakukan secara intensif oleh Komisi I DPR. Serangkaian rapat dengar pendapat umum (RDPU) telah diselenggarakan dengan mengundang sejumlah pihak terkait, mulai dari Kementerian Komunikasi dan Digital, lembaga penyiaran, hingga platform media sosial. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa RUU Penyiaran yang dihasilkan nantinya dapat mengakomodasi kepentingan seluruh pihak dan relevan dengan dinamika perkembangan teknologi dan informasi.

Proses revisi UU Penyiaran yang memakan waktu cukup lama disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah dinamika regulasi yang terus berkembang. Dave menjelaskan bahwa RUU tersebut telah mengalami perubahan substansi hingga tiga kali, termasuk akibat penyesuaian setelah adanya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). "Kenapa RUU-nya belum selesai, tapi sudah berubah tiga kali? Karena ada aturan induknya terakhir dengan RUU Ciptaker. Ada sejumlah hal yang berkaitan dengan multiplexing yang tadinya diatur di dalam RUU ini, tapi dikeluarkan lalu diatur di dalam undang-undang Ciptaker," ungkapnya. Hal ini menunjukkan bahwa proses legislasi harus adaptif terhadap perubahan regulasi lain yang memiliki keterkaitan, sehingga memerlukan koordinasi dan sinkronisasi yang baik antar berbagai peraturan perundang-undangan.

Meskipun belum menetapkan target waktu penyelesaian secara spesifik, Komisi I DPR memastikan bahwa substansi penting dalam revisi UU Penyiaran akan terus dibahas secara intensif. Tujuannya adalah untuk mengakomodasi perkembangan industri penyiaran dan platform digital yang semakin pesat. "Timeline-nya memang kami belum set (tetapkan), karena ini adalah perubahan ketiga akan RUU tentang penyiaran. Tapi kami optimistis bisa kami selesaikan di periode ini," tegas Dave. Pernyataan ini memberikan harapan bahwa RUU Penyiaran akan segera rampung dan memberikan kepastian hukum bagi seluruh pelaku industri penyiaran.

Hingga saat ini, Komisi I DPR belum mempublikasikan draf terbaru RUU Penyiaran secara resmi. Namun, pada Maret lalu, Dave mengungkapkan bahwa revisi kali ini berfokus pada platform digital dan over the top (OTT). OTT merupakan layanan streaming melalui internet yang saat ini populer digunakan oleh masyarakat. Dave menjelaskan bahwa UU Penyiaran sebelumnya hanya membahas regulasi penyiaran analog. "Sekarang ini kan yang menjadi pembahasan OTT dan digital platform," kata Dave saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 19 Maret 2025. Hal ini menunjukkan bahwa RUU Penyiaran akan mengakomodasi perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen yang semakin beralih ke platform digital.

Komisi I DPR masih mengkaji apakah muatan tentang OTT dan platform digital dimasukkan ke dalam revisi UU Penyiaran atau terpisah. "Kami masukkan dalam undang-undang (penyiaran) atau perlu kami buat undang-undang terpisah. Nah, ini yang formulasinya sedang kami godok," ujar Dave. Keputusan ini akan sangat menentukan arah regulasi penyiaran di masa depan. Jika OTT dan platform digital dimasukkan ke dalam UU Penyiaran, maka akan ada satu payung hukum yang mengatur seluruh aspek penyiaran, baik analog maupun digital. Namun, jika dibuat undang-undang terpisah, maka akan ada regulasi yang lebih spesifik dan detail mengenai OTT dan platform digital.

Revisi UU Penyiaran sempat dibahas di DPR periode 2019-2024, namun kemudian ditunda. Saat itu, usulan pelarangan tayangan ekslusif jurnalisme investigasi dalam draf, menjadi sorotan dan kritikan pelbagai kalangan. Hal ini menunjukkan bahwa proses legislasi tidak selalu berjalan mulus dan seringkali menghadapi tantangan dan kontroversi. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan mempertimbangkan berbagai aspek sebelum mengambil keputusan.

RUU Penyiaran memiliki implikasi yang luas bagi berbagai sektor, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, hingga politik. Oleh karena itu, penyelesaian RUU ini menjadi sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dan arah yang jelas bagi perkembangan industri penyiaran di Indonesia. Dengan adanya regulasi yang komprehensif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi, diharapkan industri penyiaran dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, serta memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat.

Salah satu isu krusial yang perlu diatur dalam RUU Penyiaran adalah mengenai konten. Regulasi konten harus dapat menjamin bahwa konten yang disiarkan tidak melanggar norma-norma sosial, budaya, dan agama yang berlaku di Indonesia. Selain itu, regulasi konten juga harus dapat melindungi hak-hak konsumen, khususnya anak-anak dan remaja, dari konten yang tidak layak atau berbahaya. Untuk itu, perlu adanya mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang efektif untuk memastikan bahwa regulasi konten dipatuhi oleh seluruh lembaga penyiaran.

Selain konten, RUU Penyiaran juga perlu mengatur mengenai kepemilikan media. Regulasi kepemilikan media harus dapat mencegah terjadinya konsentrasi kepemilikan yang dapat mengancam keberagaman informasi dan independensi media. Konsentrasi kepemilikan media dapat menyebabkan terjadinya monopoli informasi dan pembentukan opini publik yang tidak sehat. Oleh karena itu, perlu adanya batasan yang jelas mengenai kepemilikan media untuk memastikan bahwa informasi yang diterima oleh masyarakat berasal dari berbagai sumber yang independen dan kredibel.

Isu lain yang perlu diatur dalam RUU Penyiaran adalah mengenai digitalisasi penyiaran. Digitalisasi penyiaran merupakan proses migrasi dari penyiaran analog ke penyiaran digital. Proses ini memiliki banyak manfaat, antara lain kualitas gambar dan suara yang lebih baik, efisiensi penggunaan frekuensi, dan peningkatan kapasitas siaran. Namun, digitalisasi penyiaran juga memiliki tantangan, antara lain biaya investasi yang tinggi dan perlunya sosialisasi yang intensif kepada masyarakat. Oleh karena itu, RUU Penyiaran perlu mengatur mengenai roadmap digitalisasi penyiaran, insentif bagi lembaga penyiaran yang melakukan digitalisasi, dan perlindungan bagi masyarakat yang belum mampu mengakses siaran digital.

Penyelesaian RUU Penyiaran merupakan tugas yang kompleks dan membutuhkan kerjasama dari seluruh pihak terkait. DPR, pemerintah, lembaga penyiaran, platform media sosial, dan masyarakat sipil harus saling berdialog dan bertukar pikiran untuk menghasilkan RUU yang berkualitas dan bermanfaat bagi seluruh bangsa. Dengan adanya RUU Penyiaran yang komprehensif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi, diharapkan industri penyiaran di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, serta memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan nasional.

Selain itu, RUU Penyiaran juga perlu mengatur mengenai peran dan tanggung jawab platform media sosial dalam menyebarkan informasi. Platform media sosial telah menjadi sumber informasi yang penting bagi masyarakat, namun juga rentan digunakan untuk menyebarkan berita palsu, ujaran kebencian, dan konten-konten negatif lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang jelas mengenai tanggung jawab platform media sosial dalam mengawasi dan menghapus konten-konten yang melanggar hukum atau norma-norma sosial.

RUU Penyiaran juga perlu mengatur mengenai perlindungan terhadap jurnalis dan kebebasan pers. Jurnalis memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan perlindungan terhadap jurnalis dari segala bentuk intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi. Selain itu, RUU Penyiaran juga harus menjamin kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Kebebasan pers harus dihormati dan dilindungi, sehingga jurnalis dapat menjalankan tugasnya secara profesional dan tanpa rasa takut.

Dengan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut, diharapkan RUU Penyiaran yang dihasilkan nantinya dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi perkembangan industri penyiaran di Indonesia. RUU Penyiaran harus dapat mengakomodasi kepentingan seluruh pihak, melindungi hak-hak konsumen, dan menjamin kebebasan pers. Dengan adanya RUU Penyiaran yang berkualitas, diharapkan industri penyiaran di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, serta memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan nasional. Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Komisi I DPR Targetkan RUU Penyiaran Rampung Periode Ini

More From Author

Ramai Dugaan Pengoplosan, Cek Perbedaan Beras Medium dan Beras Premium

Bank Indonesia Solo Siap Pasok Limbah Racik Uang Kertas untuk Bahan Bakar Campuran di PLTSa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *