
Amran Sulaiman Menjelaskan Awal Mula Beras Oplosan Ditemukan
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengungkapkan kronologi penemuan praktik beras oplosan yang merugikan masyarakat hingga mencapai angka fantastis Rp 99,35 triliun. Penjelasan ini disampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR pada Rabu, 16 Juli 2025, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Amran Sulaiman mengawali penjelasannya dengan menyoroti adanya anomali harga beras yang terjadi sekitar satu hingga dua bulan sebelumnya. Kondisi yang tidak lazim ini ditandai dengan penurunan harga di tingkat petani dan penggilingan, namun justru diikuti dengan kenaikan harga di tingkat konsumen. "Seharusnya, jika harga di tingkat petani naik, barulah harga di tingkat konsumen bisa naik," tegasnya. Ketidaksesuaian ini memicu kecurigaan dan mendorong Kementerian Pertanian untuk melakukan investigasi lebih lanjut.
Selain itu, Amran juga menyinggung perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan adanya peningkatan produksi beras sebesar 14 persen atau lebih dari 3 juta ton. "Ada surplus 3 juta ton lebih dari kebutuhan, tetapi harga justru naik. Oleh karena itu, kami berinisiatif untuk melakukan pengecekan di seluruh Indonesia, terutama di 10 provinsi penghasil beras terbesar," paparnya. Data surplus yang tidak sejalan dengan kenaikan harga pasar semakin memperkuat dugaan adanya praktik tidak sehat dalam tata niaga beras.
Untuk menindaklanjuti temuan awal tersebut, Kementerian Pertanian melakukan pengecekan terhadap 268 merek beras yang beredar di 10 provinsi penghasil beras terbesar di seluruh Indonesia. Sampel-sampel beras yang dikumpulkan kemudian diuji di 13 laboratorium yang berbeda. Langkah ini diambil untuk memastikan validitas dan akurasi hasil pengujian, serta menghindari potensi kesalahan interpretasi data.
"Kami sangat berhati-hati dalam menangani kasus ini karena isu beras sangat sensitif. Ini adalah kesempatan emas bagi Indonesia untuk menata tata kelola beras, karena stok kita besar. Jadi, kami tidak khawatir akan terjadi guncangan, karena stok kita saat ini mencapai 4 juta ton," ungkap Amran. Pemerintah menyadari betul dampak yang mungkin timbul dari pengungkapan kasus ini, namun dengan stok beras yang mencukupi, pemerintah merasa memiliki posisi yang kuat untuk melakukan perbaikan dan penindakan terhadap pelaku kecurangan.
Fokus utama pemeriksaan adalah pada beras premium, di mana Kementerian Pertanian melakukan pengecekan terhadap 136 merek. Hasilnya sangat mengejutkan, menunjukkan bahwa 85,56 persen beras premium yang diuji tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Selain itu, 59,78 persen tidak sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah, dan 78,14 persen tidak sesuai dengan berat kemasan yang tertera. Temuan ini mengindikasikan adanya praktik manipulasi dan penipuan yang terstruktur dan sistematis dalam penjualan beras premium.
"Kemudian, ini 85 persen yang tidak sesuai standar. Ada yang dioplos, ada yang tidak dioplos (tetapi) langsung ganti kemasan. Jadi, ini beras curah tetapi dijual dengan harga premium," jelas Amran. Praktik pengoplosan dan penggantian kemasan ini merupakan bentuk penipuan yang merugikan konsumen, karena mereka membayar harga premium untuk beras yang kualitasnya tidak sesuai. Temuan ini kemudian diserahkan kepada Satgas Pangan Polri dan Kejaksaan Agung untuk proses hukum lebih lanjut.
Amran juga menyampaikan hasil temuan Kementerian Perdagangan terkait dengan beras oplosan. Dari 10 sampel merek beras yang diambil oleh Kementerian Perdagangan, sembilan di antaranya tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. Hal ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik curang yang meluas dalam industri beras.
Lebih lanjut, Amran menyatakan bahwa sejumlah merek beras yang terindikasi melakukan pengoplosan telah mengakui pelanggaran yang mereka lakukan. "Alhamdulillah, kemarin kami cek, merek yang sudah diumumkan itu sudah mulai sebagian menarik produk mereka dan mengganti harganya sesuai standar dan kualitasnya," kata Amran. Pengakuan dari pelaku pelanggaran ini menjadi langkah awal yang positif dalam proses penegakan hukum dan perbaikan tata niaga beras.
Dari 212 merek beras yang terindikasi melanggar aturan, 26 di antaranya telah diperiksa secara intensif. "Tanggal 10 sudah diperiksa, ada 26 merek. Menurut laporan yang kami terima, mereka mengakui pelanggaran yang mereka lakukan," ujar Amran. Pengakuan ini menunjukkan bahwa upaya penindakan yang dilakukan pemerintah mulai membuahkan hasil dan memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran.
Berdasarkan hasil survei terhadap 712 sampel per 15 Juli 2025, yang dipaparkan oleh Amran, tingkat ketidakpatuhan terhadap HET masih cukup tinggi. Untuk beras medium, tingkat ketidakpatuhan turun sedikit menjadi 91 persen, dari yang sebelumnya 95 persen pada laporan hasil investigasi bulan Juni. Sementara itu, untuk beras premium, tingkat ketidakpatuhannya menjadi 43 persen dari yang sebelumnya 60 persen pada laporan hasil investigasi bulan Juni. Meskipun terjadi penurunan, angka-angka ini masih menunjukkan bahwa upaya pengawasan dan penegakan hukum perlu terus ditingkatkan.
Amran menegaskan bahwa pemerintah berani menindak produsen curang ini karena stok beras pemerintah yang tinggi. "Kalau stoknya 1 juta ton, pasti pemerintah tidak berani melakukan perbaikan. Tapi Alhamdulillah, stok kita cukup, sehingga kami berani melakukan perbaikan," ujar dia. Ketersediaan stok beras yang mencukupi memberikan pemerintah ruang gerak yang lebih luas untuk melakukan tindakan tegas tanpa khawatir akan terjadi gejolak harga atau kelangkaan pasokan.
Kasus beras oplosan ini menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk melakukan reformasi tata niaga beras secara menyeluruh. Selain penindakan terhadap pelaku pelanggaran, pemerintah juga perlu melakukan perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian mutu beras, serta meningkatkan transparansi dalam rantai pasok beras. Dengan langkah-langkah yang komprehensif, diharapkan praktik curang seperti ini tidak akan terulang kembali di masa mendatang.
Pemerintah juga perlu melibatkan peran serta masyarakat dalam pengawasan tata niaga beras. Masyarakat dapat melaporkan jika menemukan adanya praktik penjualan beras yang mencurigakan atau tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. Dengan partisipasi aktif dari masyarakat, pengawasan tata niaga beras akan menjadi lebih efektif dan efisien.
Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai cara memilih beras yang berkualitas dan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat akan lebih cerdas dalam memilih beras dan terhindar dari praktik penipuan.
Kasus beras oplosan ini juga menjadi pelajaran penting bagi para pelaku usaha di sektor beras. Pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab akan mendapatkan kepercayaan dari konsumen dan dapat bersaing secara sehat di pasar. Sebaliknya, pelaku usaha yang melakukan praktik curang akan mendapatkan sanksi hukum dan kehilangan kepercayaan dari konsumen.
Dengan penindakan yang tegas, pengawasan yang ketat, dan partisipasi aktif dari masyarakat, diharapkan tata niaga beras di Indonesia akan menjadi lebih baik dan transparan. Hal ini akan memberikan manfaat bagi seluruh pihak, mulai dari petani, pedagang, hingga konsumen.
Pemerintah berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan dan penataan tata niaga beras agar praktik curang seperti ini tidak terulang kembali. Dengan kerja sama dari seluruh pihak, diharapkan sektor beras di Indonesia akan menjadi lebih maju dan sejahtera.
Kasus beras oplosan ini juga menjadi sorotan bagi negara-negara lain. Indonesia diharapkan dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam menata tata niaga beras dan memberantas praktik curang di sektor pangan.
Dengan komitmen yang kuat dan kerja keras dari seluruh pihak, Indonesia dapat mewujudkan tata niaga beras yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Hal ini akan memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia dan meningkatkan daya saing sektor beras di pasar global.
