
Bagaimana Rincian Peraturan yang Melarang Rangkap Jabatan Menteri?
Isu mengenai rangkap jabatan yang dilakukan oleh pejabat publik, termasuk wakil menteri (wamen) yang merangkap jabatan atau petinggi badan usaha milik negara (BUMN), kembali menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat. Hardjuno Wiwoho, seorang pengamat hukum dan pembangunan dari Universitas Airlangga, menegaskan bahwa prinsip dasar yang melarang rangkap jabatan berlaku sama antara menteri dan wakil menteri.
Menurut Hardjuno, menteri dan wakil menteri adalah satu kesatuan dalam kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, jika seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN, maka larangan tersebut secara prinsip juga harus berlaku bagi wakil menterinya.
"Wakil menteri bukanlah jabatan yang independen. Ia bukanlah pejabat politik otonom yang memiliki garis komando sendiri, melainkan perpanjangan tangan dari menteri," jelas Hardjuno dalam keterangan tertulis yang dikutip dari Antara pada Senin, 14 Juli 2025.
Rincian Peraturan yang Melarang Rangkap Jabatan
Hardjuno mengingatkan bahwa larangan rangkap jabatan bagi pejabat eksekutif negara telah diatur secara tegas dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Ia merujuk pada beberapa pasal penting yang secara eksplisit melarang praktik rangkap jabatan.
Salah satu rujukan utama adalah Pasal 23 huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal ini dengan jelas menyatakan bahwa menteri dilarang merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta.
"Pasal ini sangat terang benderang, tidak multitafsir. Karena jabatan wakil menteri adalah bagian dari struktur kementerian dan pembantu presiden, maka semestinya terikat pula pada semangat dan norma dalam undang-undang ini," tegasnya.
Pasal ini secara komprehensif melarang menteri untuk merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta, serta pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Larangan ini bertujuan untuk mencegah konflik kepentingan dan memastikan menteri fokus sepenuhnya pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai pembantu presiden.
Selain itu, Hardjuno juga menyoroti Pasal 17 huruf a UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pasal ini melarang pelaksana pelayanan publik dari instansi pemerintah untuk merangkap jabatan di organisasi usaha. Larangan ini bertujuan untuk menjaga integritas dan kualitas pelayanan publik, serta mencegah penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Selanjutnya, Hardjuno menjelaskan bahwa UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara khusus menekankan larangan konflik kepentingan dalam penyelenggaraan berbagai tugas pemerintahan. Undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk mencegah pejabat pemerintah memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang dapat merugikan kepentingan publik.
Lebih jauh, Hardjuno menyinggung soal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang mempertegas larangan menteri merangkap jabatan. Putusan MK ini merupakan tonggak penting dalam upaya penegakan hukum dan etika pemerintahan di Indonesia.
"Putusan MK ini menunjukkan bahwa semangat konstitusi kita tidak pernah membenarkan penumpukan kekuasaan administratif dan korporatif dalam satu tangan," kata Hardjuno menambahkan. Putusan ini menegaskan bahwa rangkap jabatan oleh menteri tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good governance dan dapat menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan negara dan masyarakat.
Analisis Mendalam Terkait Larangan Rangkap Jabatan
Larangan rangkap jabatan bagi menteri dan wakil menteri bukan hanya sekadar aturan formalitas, tetapi memiliki implikasi yang sangat signifikan terhadap tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan pencegahan korupsi. Praktik rangkap jabatan dapat menimbulkan berbagai permasalahan serius, antara lain:
-
Konflik Kepentingan: Rangkap jabatan dapat menciptakan konflik kepentingan yang merugikan negara dan masyarakat. Seorang menteri atau wakil menteri yang merangkap jabatan di BUMN atau perusahaan swasta berpotensi untuk mengambil kebijakan yang menguntungkan perusahaan tempat ia menjabat, meskipun kebijakan tersebut bertentangan dengan kepentingan publik.
-
Penurunan Kinerja: Rangkap jabatan dapat menyebabkan penurunan kinerja menteri atau wakil menteri karena harus membagi waktu dan perhatian antara tugas-tugas pemerintahan dan tugas-tugas di perusahaan. Hal ini dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang kurang optimal dan pelayanan publik yang tidak efektif.
-
Penyalahgunaan Wewenang: Rangkap jabatan membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang dan praktik korupsi. Seorang menteri atau wakil menteri yang memiliki posisi strategis di pemerintahan dan perusahaan dapat memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.
-
Ketidakadilan: Rangkap jabatan dapat menciptakan ketidakadilan bagi para profesional lain yang memiliki kompetensi yang sama, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan strategis karena sudah diisi oleh pejabat yang merangkap jabatan.
-
Erosi Kepercayaan Publik: Praktik rangkap jabatan dapat mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Masyarakat akan merasa bahwa pemerintah tidak serius dalam memberantas korupsi dan menegakkan prinsip-prinsip good governance.
Implikasi Hukum dan Konstitusional
Larangan rangkap jabatan bagi menteri dan wakil menteri memiliki dasar hukum dan konstitusional yang kuat. Konstitusi Negara Republik Indonesia mengamanatkan bahwa penyelenggaraan negara harus dilakukan secara bersih, efisien, dan efektif. Praktik rangkap jabatan bertentangan dengan prinsip-prinsip ini karena dapat menimbulkan konflik kepentingan, penurunan kinerja, dan penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, berbagai undang-undang dan peraturan perundang-undangan juga secara tegas melarang rangkap jabatan bagi pejabat negara, termasuk menteri dan wakil menteri. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat dikenakan sanksi administratif, bahkan sanksi pidana.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 semakin memperkuat larangan rangkap jabatan bagi menteri dan wakil menteri. Putusan ini menegaskan bahwa rangkap jabatan bertentangan dengan semangat konstitusi dan prinsip-prinsip good governance.
Rekomendasi dan Solusi
Untuk mengatasi permasalahan rangkap jabatan dan mencegah praktik serupa di masa depan, diperlukan langkah-langkah konkret dan komprehensif, antara lain:
-
Penegakan Hukum yang Tegas: Pemerintah harus menegakkan hukum secara tegas terhadap pejabat negara yang terbukti melakukan rangkap jabatan. Sanksi yang diberikan harus proporsional dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, sehingga memberikan efek jera bagi pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan tindakan serupa.
-
Revisi Peraturan Perundang-undangan: Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang rangkap jabatan, sehingga lebih jelas dan komprehensif. Peraturan yang ada harus mencakup semua bentuk rangkap jabatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
-
Penguatan Pengawasan: Pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap pejabat negara, khususnya yang memiliki potensi untuk melakukan rangkap jabatan. Pengawasan dapat dilakukan oleh internal pemerintah maupun oleh lembaga pengawas eksternal, seperti Ombudsman dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
-
Peningkatan Kesadaran: Pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya rangkap jabatan dan pentingnya good governance. Kesadaran ini dapat ditingkatkan melalui kampanye publik, pendidikan, dan pelatihan.
-
Transparansi dan Akuntabilitas: Pemerintah harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara. Informasi tentang jabatan yang diduduki oleh pejabat negara harus terbuka untuk publik, sehingga masyarakat dapat melakukan pengawasan dan memberikan masukan.
-
Evaluasi Kinerja: Pemerintah perlu melakukan evaluasi kinerja secara berkala terhadap pejabat negara, khususnya yang menduduki jabatan strategis. Evaluasi ini harus mempertimbangkan aspek integritas, kinerja, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan
Larangan rangkap jabatan bagi menteri dan wakil menteri merupakan prinsip fundamental dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Praktik rangkap jabatan dapat menimbulkan berbagai permasalahan serius, seperti konflik kepentingan, penurunan kinerja, penyalahgunaan wewenang, ketidakadilan, dan erosi kepercayaan publik.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan penegakan hukum yang tegas, revisi peraturan perundang-undangan, penguatan pengawasan, peningkatan kesadaran, transparansi dan akuntabilitas, serta evaluasi kinerja. Dengan langkah-langkah yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan praktik rangkap jabatan dapat dihilangkan dan tata kelola pemerintahan di Indonesia menjadi lebih baik.
Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 ini sudah secara tegas melarang rangkap jabatan wakil menteri. Namun, ia menilai larangan tersebut tidak dilaksanakan oleh pemerintah maupun pihak-pihak terkait. Padahal, implementasi putusan MK ini sangat penting untuk menjaga integritas dan efektivitas pemerintahan.
