
BI: Modal Asing Keluar Rp 7,9 Triliun pada Pekan Kedua Juli
Bank Indonesia (BI) melaporkan terjadinya arus keluar modal asing dari pasar keuangan domestik sebesar Rp 7,9 triliun pada pekan kedua Juli 2025, tepatnya pada periode 7 hingga 10 Juli. Data ini mengindikasikan adanya perubahan sentimen investor global terhadap aset-aset Indonesia, yang berpotensi mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah dan kinerja pasar modal secara keseluruhan.
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, arus keluar modal asing ini terutama disebabkan oleh penjualan bersih (net sell) di tiga instrumen investasi utama, yaitu Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), pasar saham, dan Surat Berharga Negara (SBN). Penjualan bersih di pasar SRBI tercatat sebesar Rp 5,41 triliun, diikuti oleh Rp 2,34 triliun di pasar saham, dan Rp 0,16 triliun di pasar SBN.
Fenomena capital outflow ini menjadi perhatian serius bagi BI, mengingat dampaknya yang dapat merembet ke berbagai sektor ekonomi. Pelemahan nilai tukar rupiah, misalnya, dapat memicu inflasi impor (imported inflation) dan meningkatkan beban utang luar negeri, terutama bagi korporasi yang memiliki pinjaman dalam denominasi mata uang asing. Selain itu, penurunan harga saham dapat mengurangi kekayaan investor dan berdampak negatif pada sentimen konsumen.
Analisis Mendalam Penyebab Capital Outflow
Untuk memahami dinamika arus modal asing ini, perlu dilakukan analisis mendalam terhadap berbagai faktor yang mempengaruhinya. Beberapa faktor kunci yang perlu dipertimbangkan antara lain:
-
Kebijakan Moneter Global:
- Kenaikan Suku Bunga Acuan: Kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral negara maju, seperti Federal Reserve (The Fed) di Amerika Serikat, dapat menarik kembali modal asing dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan karena investor cenderung mencari imbal hasil yang lebih tinggi di negara-negara dengan suku bunga yang lebih atraktif.
- Quantitative Tightening (QT): Pengurangan neraca keuangan (balance sheet) oleh bank sentral negara maju, yang dikenal sebagai Quantitative Tightening (QT), juga dapat memicu arus keluar modal asing. QT mengurangi likuiditas global dan meningkatkan biaya pendanaan, sehingga mendorong investor untuk menarik dana dari pasar-pasar yang dianggap lebih berisiko.
-
Sentimen Investor terhadap Risiko Indonesia:
- Persepsi Risiko Kredit: Peningkatan persepsi risiko kredit Indonesia, yang tercermin dari naiknya Credit Default Swap (CDS), dapat membuat investor enggan menanamkan modal di pasar keuangan domestik. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi risiko kredit antara lain kondisi fundamental ekonomi makro, stabilitas politik, dan kualitas tata kelola pemerintahan.
- Ketidakpastian Regulasi: Ketidakpastian terkait regulasi dan kebijakan pemerintah juga dapat menghambat investasi asing. Investor membutuhkan kepastian hukum dan kerangka regulasi yang jelas untuk dapat mengambil keputusan investasi yang rasional.
-
Faktor Internal Ekonomi Indonesia:
- Kinerja Pertumbuhan Ekonomi: Pertumbuhan ekonomi yang melambat atau di bawah ekspektasi dapat mengurangi daya tarik investasi di Indonesia. Investor cenderung mencari negara-negara dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih cerah.
- Inflasi: Tingkat inflasi yang tinggi dan tidak terkendali dapat menggerus daya beli masyarakat dan mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di pasar internasional. Hal ini dapat berdampak negatif pada investasi dan pertumbuhan ekonomi.
- Defisit Transaksi Berjalan: Defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang berkelanjutan dapat meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap guncangan eksternal. Investor asing cenderung khawatir terhadap negara-negara yang memiliki defisit transaksi berjalan yang besar, karena dapat memicu depresiasi nilai tukar dan krisis keuangan.
Perbandingan dengan Pekan Sebelumnya dan Tren Sejak Awal Tahun
Data BI menunjukkan bahwa arus keluar modal asing pada pekan kedua Juli 2025 berbeda signifikan dibandingkan dengan pekan sebelumnya. Pada periode 30 Juni hingga 3 Juli 2025, BI mencatat arus modal asing masuk (capital inflow) sebesar Rp 10,79 triliun. Perbedaan ini mengindikasikan adanya perubahan sentimen pasar yang cepat dan dinamis.
Secara kumulatif sejak awal tahun hingga 10 Juli 2025, nonresiden tercatat melakukan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 56,24 triliun di pasar saham dan Rp 35,08 triliun di pasar SRBI. Namun, di pasar SBN, nonresiden mencatat pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 59,27 triliun. Data ini menunjukkan bahwa investor asing memiliki preferensi yang berbeda terhadap berbagai instrumen investasi di Indonesia.
Implikasi dan Respons Kebijakan
Arus keluar modal asing ini memiliki implikasi yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Pelemahan nilai tukar rupiah dapat meningkatkan biaya impor dan memicu inflasi, sementara penurunan harga saham dapat mengurangi kekayaan investor dan berdampak negatif pada sentimen konsumen.
Menghadapi tantangan ini, BI memiliki beberapa opsi kebijakan yang dapat ditempuh, antara lain:
- Intervensi di Pasar Valuta Asing: BI dapat melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Intervensi dapat dilakukan dengan menjual cadangan devisa atau menggunakan instrumen-instrumen derivatif.
- Kebijakan Suku Bunga: BI dapat menaikkan suku bunga acuan untuk menarik kembali modal asing dan meredam inflasi. Namun, kenaikan suku bunga juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
- Koordinasi dengan Pemerintah: BI perlu berkoordinasi dengan pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia. Pemerintah dapat melakukan reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan mengurangi risiko investasi.
Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Selain BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas pasar modal dan menarik investasi asing. OJK perlu terus meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas pasar modal dan memastikan bahwa praktik-praktik yang tidak sehat dapat dicegah.
Sebelumnya, OJK mencatat bahwa modal asing sebesar Rp 53,57 triliun telah keluar dari pasar saham domestik dari awal tahun hingga Juni 2025. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, mengatakan bahwa nonresiden melakukan penjualan bersih di pasar saham sebesar Rp 8,38 triliun pada Juni 2025.
Inarno juga menyoroti kinerja indeks sektoral yang secara umum melemah, dengan penurunan terbesar dialami oleh sektor industrial dan finansial. Sebaliknya, sektor transportasi dan logistik serta bahan baku mengalami penguatan.
Kesimpulan
Arus keluar modal asing sebesar Rp 7,9 triliun pada pekan kedua Juli 2025 menjadi sinyal peringatan bagi Indonesia. BI dan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan meningkatkan daya tarik investasi. Koordinasi yang erat antara berbagai pihak terkait sangat penting untuk menghadapi tantangan ini.
Penting untuk diingat bahwa dinamika pasar keuangan global sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait. Oleh karena itu, analisis yang komprehensif dan respons kebijakan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
