
DJP Bakal Tunjuk Empat E-Commerce untuk Pungut Pajak
Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menunjuk empat platform e-commerce terkemuka di Indonesia untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari para pedagang atau merchant yang berjualan di platform mereka. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang mulai berlaku pada hari Senin, 14 Juli 2025.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa keempat e-commerce yang akan ditunjuk adalah Shopee, Tokopedia, Lazada, dan Blibli. "Nanti mereka akan memungut PPh dari merchant-merchant yang berdagang di platform elektronik mereka," ujar Bimo usai menghadiri rapat dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 14 Juli 2025.
Langkah ini diambil sebagai upaya untuk menciptakan kesetaraan atau level playing field dalam sistem perpajakan, khususnya di sektor e-commerce. Bimo menjelaskan bahwa aturan serupa telah diterapkan pada platform digital asing seperti Google dan Netflix sejak tahun 2022. Dengan diberlakukannya PMK 37/2025, diharapkan tidak ada lagi perbedaan perlakuan antara platform asing dan lokal dalam hal pemungutan pajak.
Sebelumnya, pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan secara sukarela melalui pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Namun, dengan penunjukan e-commerce sebagai pemungut pajak, diharapkan kepatuhan pajak dari para pedagang online dapat meningkat secara signifikan.
Bimo juga menegaskan bahwa infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan aturan ini sudah siap. "Sudah siap, nanti akan di-embed di Coretax," imbuhnya, merujuk pada sistem inti administrasi perpajakan yang sedang dikembangkan oleh DJP.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menambahkan bahwa kebijakan ini akan diberlakukan secara bertahap, dimulai dengan platform e-commerce skala besar. DJP juga telah menjalin komunikasi dengan para pelaku e-commerce untuk membahas implementasi aturan ini.
"Kami sudah undang beberapa marketplace besar, kami sosialisasikan. Mereka juga butuh penyesuaian di sistemnya walaupun cuma menambahkan," kata Yoga di kantornya, Senin, 14 Juli 2025.
Yoga menjelaskan bahwa DJP akan terus menyisir dan menunjuk platform penjualan daring skala kecil sebagai pemungut pajak di masa mendatang. Penunjukan akan dilakukan secara bertahap, tergantung pada kesiapan masing-masing platform. "Kalau yang ditetapkan sebagai pemungut hanya (e-commerce) yang besar saja, nanti (pedagang) pindah semuanya ke yang kecil, yang besar rugi," jelasnya.
Dengan diberlakukannya PMK 37/2025, pedagang dalam negeri yang melakukan transaksi melalui sistem elektronik diwajibkan untuk menyetor pajak kepada penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau e-commerce. Pasal 2 beleid tersebut menyatakan bahwa "Pihak Lain ditunjuk oleh Menteri sebagai pemungut Pajak Penghasilan untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik."
Aturan ini juga menyebutkan bahwa pihak yang ditunjuk adalah penyelenggara perdagangan elektronik dari dalam dan luar negeri yang memenuhi kriteria tertentu. Salah satu kriterianya adalah penyelenggara perdagangan elektronik yang menggunakan escrow account untuk menampung pajak penghasilan.
Kriteria lainnya adalah marketplace yang memungut pajak memiliki batasan nilai transaksi dengan pemanfaat jasa penyediaan sarana elektronik melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua belas) bulan. Selain itu, marketplace juga harus memiliki jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua belas) bulan. Batasan mengenai besarnya nilai transaksi dan jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu).
Besaran pungutan PPh 22 yang akan dikenakan adalah 0,5 persen dari peredaran bruto yang diterima atau diperoleh pedagang. Namun, PPh ini hanya akan dipungut dari pedagang atau pelapak dengan omzet melebihi Rp 500 juta per tahun.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Rizal Taufikurahman, menilai bahwa keterlibatan e-commerce sebagai pemungut pajak mencerminkan arah baru reformasi perpajakan di sektor digital. Namun, ia menekankan bahwa pemerintah perlu memperhatikan integrasi sistem untuk menghindari beban administrasi yang berlebihan.
"Tanpa perencanaan teknokratis yang matang, kebijakan ini rawan kehilangan efektivitas substansialnya," kata Rizal kepada Tempo pada Sabtu, 28 Juni 2025.
Implikasi Kebijakan dan Tantangan yang Dihadapi
Penunjukan e-commerce sebagai pemungut pajak diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor digital. Namun, kebijakan ini juga memiliki implikasi yang perlu diperhatikan, baik bagi pelaku e-commerce maupun pedagang online.
Bagi pelaku e-commerce, penunjukan ini akan menambah beban administrasi dan operasional. Mereka harus melakukan penyesuaian pada sistem mereka untuk dapat memungut, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 22 dari para pedagang. Selain itu, mereka juga harus memastikan bahwa sistem mereka terintegrasi dengan sistem DJP untuk memudahkan proses pelaporan.
Bagi pedagang online, kebijakan ini akan meningkatkan biaya operasional mereka. Mereka harus membayar PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari peredaran bruto mereka, yang dapat mengurangi margin keuntungan mereka. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi para pedagang online, karena semua pedagang akan dikenakan pajak yang sama.
Selain implikasi tersebut, ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi dalam implementasi kebijakan ini. Pertama, adalah tantangan teknis. DJP dan pelaku e-commerce harus memastikan bahwa sistem mereka dapat berfungsi dengan baik dan terintegrasi satu sama lain. Kedua, adalah tantangan sosialisasi. DJP harus melakukan sosialisasi yang efektif kepada para pedagang online agar mereka memahami kewajiban pajak mereka dan cara memenuhinya. Ketiga, adalah tantangan pengawasan. DJP harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kebijakan ini untuk memastikan bahwa semua pihak mematuhi aturan yang berlaku.
Dampak Jangka Panjang dan Rekomendasi Kebijakan
Dalam jangka panjang, kebijakan penunjukan e-commerce sebagai pemungut pajak diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Peningkatan penerimaan negara dari sektor digital dapat digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan program-program sosial. Selain itu, kebijakan ini juga dapat mendorong pertumbuhan sektor e-commerce yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah perlu terus melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kebijakan ini. Beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan adalah:
- Pemberian Insentif Pajak: Pemerintah dapat memberikan insentif pajak kepada pelaku e-commerce yang berinvestasi dalam pengembangan sistem dan infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ini.
- Penyederhanaan Proses Pelaporan: Pemerintah dapat menyederhanakan proses pelaporan pajak bagi para pedagang online, misalnya dengan menyediakan platform pelaporan online yang mudah digunakan.
- Peningkatan Literasi Pajak: Pemerintah dapat meningkatkan literasi pajak di kalangan masyarakat, khususnya para pedagang online, melalui program-program edukasi dan pelatihan.
- Pengawasan yang Efektif: Pemerintah perlu melakukan pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan kebijakan ini untuk mencegah praktik-praktik penghindaran pajak.
Dengan implementasi kebijakan yang tepat dan dukungan dari semua pihak, diharapkan sektor e-commerce dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang penting bagi Indonesia di masa depan. Kebijakan ini bukan hanya tentang meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga tentang menciptakan ekosistem e-commerce yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
