
Pejabat tinggi Israel telah mengeluarkan peringatan keras kepada Hamas, mengindikasikan bahwa operasi militer di Jalur Gaza akan diintensifkan secara drastis jika negosiasi gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera tidak segera mencapai kemajuan. Ancaman ini, yang pertama kali dilaporkan oleh media AS, Axios, menyoroti ketegangan diplomatik yang memuncak di tengah konflik berkepanjangan yang telah menghancurkan Jalur Gaza. Peringatan tersebut datang saat militer Israel menunjukkan tanda-tanda jelas akan memperluas cakupan serangannya di darat, memerintahkan evakuasi penduduk sipil di area-area tambahan di kota Gaza ke wilayah selatan pada Senin (30/6).
"Apa yang kami lakukan di Rafah akan kami lakukan juga di kota Gaza dan kamp pengungsian pusat. Semua akan berubah menjadi debu," demikian bunyi pernyataan seorang pejabat Israel yang dikutip oleh Axios dan dilaporkan ulang oleh Al Jazeera pada Rabu (2/7). Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari potensi eskalasi yang mengerikan. Pejabat tersebut menambahkan, "Ini bukan pilihan yang kami sukai, tapi jika tidak ada pergerakan menuju kesepakatan pembebasan sandera, kami tidak punya pilihan lain." Ancaman ini menggarisbawahi frustrasi Israel terhadap kebuntuan negosiasi dan tekad mereka untuk mencapai tujuan perang, yaitu melumpuhkan kemampuan Hamas dan mengamankan pembebasan sandera.
Ancaman ini muncul di tengah upaya mediasi internasional yang intensif, terutama dari Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir. Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden telah mengusulkan kerangka kerja gencatan senjata multi-fase yang mencakup penarikan pasukan Israel dari Gaza, pembebasan sandera Israel sebagai imbalan bagi tahanan Palestina, dan dimulainya kembali upaya rekonstruksi. Proposal ini, yang didukung oleh komunitas internasional, bertujuan untuk mengamankan gencatan senjata selama 60 hari sebagai langkah awal menuju perdamaian yang lebih permanen. Namun, negosiasi terus menemui jalan buntu karena perbedaan mendasar antara tuntutan Israel dan Hamas. Israel bersikeras bahwa setiap gencatan senjata bersifat sementara dan tidak akan mengakhiri perang sebelum Hamas sepenuhnya dilumpuhkan, sementara Hamas menuntut jaminan gencatan senjata permanen dan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza sebagai prasyarat utama untuk kesepakatan.
Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza sudah berada di ambang bencana. Sejak dimulainya operasi militer Israel pada Oktober 2023 sebagai respons terhadap serangan Hamas, lebih dari 37.000 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Infrastruktur vital, termasuk rumah sakit, sekolah, dan sistem air bersih, telah hancur lebur. Lebih dari 80% populasi Gaza, atau sekitar 2,3 juta orang, telah mengungsi paksa, banyak di antaranya mengungsi berkali-kali dalam kondisi yang memprihatinkan. Ancaman Israel untuk mengubah Gaza City dan kamp-kamp pengungsian pusat menjadi "debu" mengisyaratkan tingkat kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan melebihi apa yang telah disaksikan di Rafah, kota di selatan Gaza yang sebelumnya dianggap sebagai "zona aman" namun kemudian menjadi sasaran operasi militer intensif.
Operasi di Rafah, yang dimulai pada awal Mei, telah menyebabkan perpindahan massal lebih dari satu juta warga Palestina yang mencari perlindungan di sana. Meskipun mendapat kecaman internasional yang meluas dan peringatan akan bencana kemanusiaan, Israel terus maju dengan operasi militer di Rafah, mengklaim bahwa kota tersebut adalah benteng terakhir Hamas. Pengalaman Rafah, dengan kehancuran luas dan penderitaan sipil yang parah, menjadi preseden menakutkan bagi ancaman terhadap Gaza City dan kamp-kamp pengungsian. Gaza City, yang merupakan pusat populasi terbesar di wilayah tersebut, telah mengalami kerusakan parah sejak awal konflik, namun ancaman terbaru ini menunjukkan bahwa Israel siap untuk melancarkan serangan yang lebih mematikan dan merusak.
Di lapangan, serangan Israel terus berlanjut tanpa henti. Laporan dari Gaza menunjukkan bahwa serangan Israel di selatan dan pusat Gaza telah menewaskan sejumlah orang dan melukai banyak lainnya. Di utara Gaza, serangan Israel menargetkan sebuah rumah di Jalan Jaffa, menyebabkan korban jiwa dan luka-luka. Sementara itu, di kota Gaza, serangan drone menargetkan lingkungan al-Karama, menambah daftar panjang area yang telah dihantam. Di pusat Deir el-Balah, setidaknya 10 orang terluka dalam serangan yang menargetkan tenda pengungsi, menyoroti kerentanan ekstrem para pengungsi yang tidak memiliki tempat aman. Serangan-serangan ini menunjukkan bahwa militer Israel telah meningkatkan intensitas operasinya di berbagai front, bahkan ketika negosiasi gencatan senjata masih berlangsung.
Komunitas internasional telah berulang kali menyerukan gencatan senjata segera dan penghentian kekerasan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai organisasi kemanusiaan telah memperingatkan tentang krisis kelaparan yang meluas di Gaza, dengan sebagian besar penduduk sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan yang terhambat. Ancaman Israel untuk memperluas operasi militernya semakin memperburuk prospek pengiriman bantuan yang sangat dibutuhkan. Banyak negara dan organisasi hak asasi manusia telah mengutuk tindakan Israel, menuduhnya melanggar hukum internasional dan melakukan kejahatan perang. Namun, Israel menegaskan bahwa mereka bertindak sesuai dengan haknya untuk membela diri dan menargetkan infrastruktur Hamas.
Di sisi lain, Hamas, yang menguasai Jalur Gaza sejak 2007, menyatakan bahwa mereka tidak akan menerima kesepakatan yang tidak menjamin penghentian total agresi Israel, penarikan pasukan dari seluruh Jalur Gaza, dan kembalinya para pengungsi ke rumah-rumah mereka. Mereka juga menuntut pencabutan blokade yang telah diberlakukan Israel di Gaza selama bertahun-tahun. Bagi Hamas, pembebasan sandera adalah alat tawar-menawar utama mereka untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Mereka berpendapat bahwa tekanan militer Israel tidak akan memaksa mereka untuk menyerah pada tuntutan yang mereka anggap sebagai hak dasar rakyat Palestina.
Prospek masa depan Gaza tampak suram jika ancaman Israel benar-benar diwujudkan. Skala kehancuran akan mencapai tingkat yang tak terbayangkan, mengubah sebagian besar wilayah padat penduduk tersebut menjadi puing-puing. Ini akan memperparah krisis kemanusiaan yang sudah parah, menyebabkan lebih banyak korban jiwa, pengungsian massal, dan trauma mendalam bagi generasi mendatang. Dampaknya juga akan meluas secara regional, memicu ketidakstabilan lebih lanjut dan berpotensi memicu konflik yang lebih luas di Timur Tengah.
Pada akhirnya, ancaman Israel untuk mengubah Gaza menjadi debu adalah ultimatum yang mengerikan, mencerminkan keputusasaan dan tekad dalam perang yang telah berlangsung berbulan-bulan. Jalan menuju perdamaian tetap sangat sulit, terhalang oleh perbedaan fundamental antara kedua belah pihak dan ketidakmampuan mediasi untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Nasib jutaan warga Palestina di Gaza kini bergantung pada keberhasilan atau kegagalan negosiasi yang sedang berlangsung, dengan alternatifnya adalah eskalasi yang dapat membawa kehancuran total.
