
Kasus-Kasus Pasar Keuangan yang Melibatkan Influencer: Antara Edukasi, Promosi, dan Jeratan Hukum
Maraknya penggunaan media sosial telah mengubah lanskap investasi dan pasar keuangan secara signifikan. Di satu sisi, informasi tentang investasi menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat luas. Di sisi lain, popularitas influencer di media sosial telah membuka celah bagi praktik-praktik yang merugikan, mulai dari promosi investasi bodong hingga manipulasi pasar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merespons fenomena ini dengan mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pengendalian Internal dan Perilaku Perusahaan Efek yang Melakukan Kegiatan Usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek. Regulasi ini bertujuan untuk memperketat pengawasan terhadap kerja sama antara perusahaan efek dan influencer, serta memastikan perlindungan investor.
Peraturan OJK ini menjadi krusial mengingat sejumlah kasus yang melibatkan influencer dan pasar keuangan telah mencuat ke publik. Kasus-kasus ini tidak hanya merugikan investor secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal.
Regulasi OJK dan Perlindungan Investor
OJK menyadari bahwa influencer memiliki potensi besar untuk menjangkau audiens yang luas dan memengaruhi keputusan investasi. Namun, tanpa pengawasan yang ketat, potensi ini dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, Peraturan OJK Nomor 13 Tahun 2025 mengatur secara rinci mengenai kerja sama antara perusahaan efek dan influencer, termasuk kewajiban untuk melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap influencer yang akan diajak bekerja sama.
Selain itu, regulasi ini juga mewajibkan perusahaan efek untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan oleh influencer akurat, tidak menyesatkan, dan sesuai dengan profil risiko investor. Influencer juga harus mengungkapkan secara transparan mengenai potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul dari kerja sama tersebut.
"OJK akan terus melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi POJK ini untuk memastikan peraturan ini berjalan efektif dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat serta industri pasar modal," ujar Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi, Ismail Riyadi, dalam pernyataan resminya pada 15 Juli 2025.
Studi Kasus: Ahmad Rafif Raya dan Investasi Ilegal Rp 71 Miliar
Salah satu kasus terbaru yang menjadi perhatian publik adalah penipuan investasi yang dilakukan oleh influencer Ahmad Rafif Raya. Melalui perusahaannya, PT Waktunya Beli Saham, Rafif diduga menghimpun dana masyarakat hingga Rp 71 miliar tanpa izin dari OJK. Rafif aktif mempromosikan investasi saham dan produk keuangan lainnya dengan iming-iming keuntungan tinggi.
OJK menilai tindakan Rafif melanggar Pasal 237 Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) tentang penghimpunan dana tanpa izin. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) atas permintaan OJK memblokir akun Instagram @rafifraya milik Rafif sejak 5 Juli 2024. Dalam laman tersebut, Instagram mencantumkan peringatan bahwa akun diblokir karena pelanggaran hukum.
Kasus Rafif Raya menjadi contoh nyata bagaimana influencer dapat memanfaatkan popularitas mereka untuk menarik investor ke dalam skema investasi ilegal. Kurangnya literasi keuangan di kalangan masyarakat juga menjadi faktor yang memperburuk situasi ini. Banyak investor tergiur dengan janji keuntungan tinggi tanpa memahami risiko yang terlibat.
Wahyu Kenzo dan Robot Trading ATG: Kerugian Rp 9 Triliun
Kasus lain yang menggemparkan adalah penipuan robot trading Auto Trade Gold (ATG) yang melibatkan Wahyu Kenzo, seorang crazy rich Surabaya. Wahyu Kenzo dituduh menipu sekitar 25 ribu korban dengan kerugian yang diperkirakan mencapai Rp 9 triliun.
Para korban dijanjikan keuntungan fantastis hingga 10 persen per hari, namun kenyataannya dana tidak dapat ditarik kembali. Salah satu korban, keluarga Rimzah, mengalami kerugian hingga Rp 32 miliar dari skema jual beli tanah dan investasi ATG. Laporan ke polisi dilayangkan setelah Wahyu sulit dihubungi dan terus menghindari pelunasan kewajiban.
Kasus Wahyu Kenzo menyoroti bahaya investasi bodong yang menggunakan teknologi robot trading sebagai kedok. Para pelaku memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat mengenai cara kerja robot trading dan menjanjikan keuntungan yang tidak realistis.
Deretan Influencer Lain yang Terjerat Penipuan Investasi
Selain Ahmad Rafif Raya dan Wahyu Kenzo, sejumlah influencer lain juga terlibat dalam kasus penipuan investasi. Berikut adalah beberapa di antaranya:
- Doni Salmanan: Terdakwa penipuan investasi binary option dengan platform Quotex. Total kerugian member Quotex mencapai Rp 24 miliar. Doni Salmanan divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas 1A, namun hukumannya kemudian diperberat menjadi delapan tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Bandung.
- Indra Kenz: Terdakwa kasus aplikasi binary option Binomo. Jumlah korban sebanyak 144 orang dengan total kerugian mencapai Rp 83 miliar. Indra Kenz divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
- Reza Paten: Tersangka kasus robot trading Net89, yang menyeret lebih dari 300 ribu korban dengan nilai kerugian mencapai Rp 2 triliun. Kasus ini juga menyeret sejumlah figur publik yang diduga ikut mempromosikan skema tersebut.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa penipuan investasi yang melibatkan influencer merupakan masalah yang serius dan meluas. Para pelaku memanfaatkan popularitas dan kepercayaan masyarakat untuk menarik korban ke dalam skema yang merugikan.
Tantangan dan Upaya Pencegahan
Meskipun OJK telah mengeluarkan regulasi untuk mengatur kerja sama antara perusahaan efek dan influencer, masih ada sejumlah tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah sulitnya mengawasi aktivitas influencer di media sosial. Influencer dapat dengan mudah membuat konten promosi investasi tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari perusahaan efek.
Selain itu, literasi keuangan masyarakat yang masih rendah juga menjadi kendala dalam upaya pencegahan penipuan investasi. Banyak investor yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk membedakan antara investasi yang legal dan ilegal.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan upaya yang komprehensif dari berbagai pihak, termasuk OJK, pemerintah, perusahaan efek, influencer, dan masyarakat. OJK perlu meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas influencer di media sosial dan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. Pemerintah perlu meningkatkan literasi keuangan masyarakat melalui program-program edukasi yang efektif. Perusahaan efek perlu lebih selektif dalam memilih influencer yang akan diajak bekerja sama dan memastikan bahwa informasi yang disampaikan akurat dan tidak menyesatkan. Influencer perlu menyadari tanggung jawab mereka sebagai tokoh publik dan menghindari promosi investasi yang berpotensi merugikan masyarakat. Masyarakat perlu meningkatkan literasi keuangan mereka dan berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi.
Kesimpulan
Kasus-kasus pasar keuangan yang melibatkan influencer telah menjadi perhatian serius bagi regulator dan masyarakat. Peraturan OJK Nomor 13 Tahun 2025 merupakan langkah penting dalam mengatur kerja sama antara perusahaan efek dan influencer, serta melindungi investor dari praktik-praktik yang merugikan. Namun, regulasi ini hanyalah salah satu bagian dari solusi. Upaya pencegahan penipuan investasi memerlukan pendekatan yang komprehensif dari berbagai pihak, termasuk OJK, pemerintah, perusahaan efek, influencer, dan masyarakat. Dengan meningkatkan literasi keuangan masyarakat, memperketat pengawasan terhadap aktivitas influencer di media sosial, dan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, diharapkan kasus-kasus serupa dapat dicegah di masa depan.
