
Lemahnya Daya Beli Picu Perlambatan Pertumbuhan Kredit Perbankan
Pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia menunjukkan tren perlambatan yang mengkhawatirkan. Data terbaru menunjukkan bahwa pada Mei 2025, pertumbuhan kredit hanya mencapai 8,43 persen, melanjutkan penurunan yang telah terjadi sejak Maret. Padahal, pada Februari 2025, pertumbuhan kredit masih berada di angka dua digit, yaitu 10,3 persen. Namun, angka tersebut kemudian menurun menjadi 9,16 persen pada Maret dan 8,88 persen pada April. Perlambatan ini menjadi sorotan utama para ekonom dan pelaku pasar, yang khawatir akan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menjelaskan bahwa perlambatan pertumbuhan kredit ini mencerminkan masih lemahnya optimisme di kalangan dunia usaha. Ia menyoroti indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur yang pada Juni 2025 tercatat sebesar 46,9, turun dari 47,4 pada bulan sebelumnya. Penurunan PMI manufaktur ini mengindikasikan adanya kontraksi dalam sektor manufaktur, yang merupakan salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi.
Wijayanto menekankan bahwa pelemahan daya beli masyarakat dan dinamika global menjadi penyebab utama melambatnya pertumbuhan kredit. Daya beli masyarakat yang rendah mengakibatkan penurunan permintaan terhadap barang dan jasa, sehingga perusahaan enggan untuk melakukan ekspansi atau investasi baru. Selain itu, ketidakpastian ekonomi global juga mempengaruhi kepercayaan pelaku usaha untuk mengambil risiko dalam bentuk pinjaman atau kredit.
Tren perlambatan pertumbuhan kredit ini berpotensi menyeret ekonomi ke fase penurunan yang lebih dalam. Penurunan pertumbuhan kredit dapat menyebabkan merosotnya ekspansi usaha, meningkatnya angka pengangguran, dan memburuknya kondisi fiskal. Perusahaan yang kesulitan mendapatkan akses kredit akan mengurangi produksi dan investasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Untuk mengatasi masalah ini, Wijayanto menyarankan agar pemerintah mengoptimalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk program-program yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan menciptakan lapangan kerja. Ia menekankan pentingnya fokus pada program-program yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, seperti bantuan sosial, pelatihan keterampilan, dan subsidi untuk sektor-sektor yang rentan. Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah menunda program-program yang kurang prioritas, seperti proyek-proyek infrastruktur yang belum mendesak.
Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral telah mengambil beberapa langkah untuk mendorong pertumbuhan kredit. Salah satu langkah yang diambil adalah mendorong penurunan suku bunga agar kredit lebih terjangkau bagi masyarakat dan pelaku usaha. Gubernur BI Perry Warjiyo mencatat bahwa suku bunga deposito satu bulan pada April 2025 sebesar 4,83 persen, naik dari 4,81 persen pada Januari. Namun, ia juga mengakui bahwa kecenderungan sejumlah bank menawarkan suku bunga yang lebih tinggi dari yang dipublikasikan dapat menghambat upaya penurunan suku bunga kredit. Suku bunga kredit sendiri masih relatif tinggi di level 9,19 persen.
Selain mendorong penurunan suku bunga, BI juga telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan likuiditas di pasar keuangan. Sejak 1 Juni 2025, BI menaikkan Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) dari 30 persen menjadi 35 persen dari modal bank. Peningkatan RPLN ini diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan dana bagi bank untuk menyalurkan kredit. Selain itu, BI juga menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk bank konvensional dari 5 persen menjadi 4 persen, dan bank syariah dari 3,5 persen menjadi 2,5 persen. Penurunan PLM ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada bank dalam mengelola likuiditas mereka.
Namun, efektivitas langkah-langkah yang diambil oleh BI ini masih perlu diuji lebih lanjut. Beberapa analis berpendapat bahwa penurunan suku bunga dan peningkatan likuiditas saja tidak cukup untuk mengatasi masalah perlambatan pertumbuhan kredit. Mereka menekankan pentingnya upaya pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, seperti memberikan insentif pajak bagi pekerja berpenghasilan rendah, meningkatkan upah minimum, dan memperluas program jaminan sosial. Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan menyederhanakan regulasi, mengurangi birokrasi, dan memberikan kepastian hukum bagi investor.
Perlambatan pertumbuhan kredit perbankan merupakan masalah serius yang perlu segera ditangani. Jika tidak ditangani dengan baik, perlambatan ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan masalah sosial yang lebih besar. Pemerintah dan BI perlu bekerja sama untuk mengambil langkah-langkah yang komprehensif dan terkoordinasi untuk mengatasi masalah ini.
Selain langkah-langkah yang telah disebutkan di atas, pemerintah juga perlu fokus pada pengembangan sektor-sektor ekonomi yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi, seperti sektor pariwisata, ekonomi kreatif, dan digital. Pengembangan sektor-sektor ini dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan masyarakat, yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan kredit.
Pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan. SDM yang berkualitas akan meningkatkan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, yang pada gilirannya dapat menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan infrastruktur, terutama di daerah-daerah terpencil. Peningkatan infrastruktur akan meningkatkan konektivitas dan mengurangi biaya transportasi, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tersebut.
Dalam mengatasi masalah perlambatan pertumbuhan kredit, pemerintah dan BI perlu bekerja sama dengan sektor swasta. Sektor swasta memiliki peran penting dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi sektor swasta agar dapat berkembang dan berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian.
Perlambatan pertumbuhan kredit perbankan merupakan tantangan yang kompleks dan multidimensional. Tidak ada solusi tunggal yang dapat mengatasi masalah ini. Pemerintah, BI, dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk mengambil langkah-langkah yang komprehensif dan terkoordinasi untuk mengatasi masalah ini. Dengan upaya yang sungguh-sungguh dan terarah, diharapkan pertumbuhan kredit perbankan dapat kembali meningkat dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan.
Penting untuk diingat bahwa pertumbuhan kredit hanyalah salah satu indikator kesehatan ekonomi. Pemerintah juga perlu memperhatikan indikator-indikator lain, seperti pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), inflasi, pengangguran, dan neraca perdagangan. Dengan memperhatikan semua indikator ini, pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dari kebijakan ekonomi yang diambil. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan harus memperhatikan kepentingan semua lapisan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam menghadapi tantangan perlambatan pertumbuhan kredit, pemerintah perlu memiliki visi yang jelas dan strategi yang terarah. Pemerintah perlu berani mengambil langkah-langkah yang inovatif dan out-of-the-box untuk mengatasi masalah ini. Dengan kerja keras dan komitmen yang kuat, Indonesia dapat mengatasi tantangan ini dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
