Penjelasan DJP Soal Penggalian Potensi Pajak dari Media Sosial

Penjelasan DJP Soal Penggalian Potensi Pajak dari Media Sosial

Penjelasan DJP Soal Penggalian Potensi Pajak dari Media Sosial

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia memberikan klarifikasi terkait isu yang berkembang mengenai penggalian potensi pajak melalui media sosial. Penjelasan ini disampaikan untuk merespons kekhawatiran publik dan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai kebijakan yang sedang dipertimbangkan. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memberlakukan mekanisme pemungutan pajak baru yang secara khusus menyasar aktivitas di media sosial.

Pernyataan ini menjadi krusial mengingat peran media sosial yang semakin sentral dalam kehidupan masyarakat modern. Platform-platform seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan Twitter tidak hanya menjadi sarana komunikasi dan hiburan, tetapi juga telah bertransformasi menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Banyak individu dan perusahaan memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produk, menawarkan jasa, dan membangun merek. Dengan demikian, potensi ekonomi yang dihasilkan dari aktivitas di media sosial tidak dapat diabaikan.

Namun, DJP menekankan bahwa pemanfaatan media sosial dalam konteks perpajakan lebih difokuskan pada upaya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan memastikan keadilan dalam sistem perpajakan. Bimo Wijayanto menjelaskan bahwa media sosial akan digunakan sebagai salah satu alat untuk memverifikasi data yang dilaporkan oleh wajib pajak. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi potensi ketidaksesuaian antara penghasilan yang dilaporkan dengan gaya hidup atau aset yang dimiliki oleh wajib pajak.

"Penggunaan media sosial adalah salah satu cara untuk melihat ketidaksesuaian antara pajak yang dilaporkan dengan harta sebenarnya," ujar Bimo Wijayanto kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa, 15 Juli 2025. "Misalnya, siapa tahu ada aset yang belum dilaporkan yang berbeda sama SPT dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara."

Dengan kata lain, DJP akan memanfaatkan data yang tersedia di media sosial sebagai data pembanding untuk mengevaluasi keakuratan Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan oleh wajib pajak. Jika ditemukan indikasi ketidaksesuaian, DJP akan melakukan pendalaman lebih lanjut untuk memastikan apakah terdapat potensi penghasilan yang belum dilaporkan atau aset yang belum dimasukkan dalam SPT.

Metode penelusuran melalui media sosial bukanlah hal baru bagi DJP. Bimo Wijayanto mengungkapkan bahwa teknik ini telah lama digunakan dan terus dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi machine learning. "Dari pola data yang ada, SPT yang disampaikan 5-10 tahun terakhir, kami lihat polanya seperti apa, di media sosial aktivitasnya seperti apa," jelasnya.

Dengan machine learning, DJP dapat menganalisis pola data yang kompleks dan mengidentifikasi potensi risiko ketidakpatuhan pajak dengan lebih efisien. Sistem ini akan mempelajari karakteristik wajib pajak, termasuk riwayat pelaporan pajak, aktivitas keuangan, dan jejak digital di media sosial. Berdasarkan analisis ini, DJP dapat menentukan wajib pajak mana yang perlu diperiksa lebih lanjut.

Isu penggalian potensi pajak melalui media sosial mencuat setelah Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menyampaikan pernyataan dalam rapat bersama Komisi XI DPR pada Senin lalu. Anggito menyebutkan bahwa pemerintah akan memanfaatkan data analitik dan media sosial untuk meningkatkan penerimaan negara.

"Pertama, penggalian potensi perpajakan melalui data analytic maupun media sosial," kata Anggito di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 14 Juli 2025. Namun, ia tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai mekanisme penggalian potensi tersebut.

Pernyataan Anggito ini memicu berbagai spekulasi dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Banyak yang khawatir bahwa pemerintah akan memberlakukan pajak baru yang menyasar aktivitas di media sosial, seperti endorsement, paid promote, atau penjualan online. Kekhawatiran ini kemudian direspons oleh DJP dengan memberikan klarifikasi dan penjelasan yang lebih detail.

Selain penggalian potensi pajak melalui media sosial, Kementerian Keuangan juga memiliki sejumlah rencana lain untuk meningkatkan penerimaan negara. Salah satunya adalah rekomendasi penerapan cukai produk pangan olahan bernatrium. Langkah ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi produk pangan yang tidak sehat dan meningkatkan penerimaan negara dari sektor cukai.

Kementerian Keuangan juga berupaya untuk memperkuat regulasi perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh potensi penerimaan negara dapat dimaksimalkan dan tidak ada kebocoran anggaran. Selain itu, pemerintah juga berencana untuk memperbaiki proses bisnis untuk kegiatan ekspor dan impor logistik. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya logistik, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan penerimaan negara dari sektor perdagangan internasional.

Sebagai tambahan informasi, pemerintah juga telah menunjuk lokapasar (marketplace) sebagai pemungut pajak. Marketplace seperti Shopee dan Tokopedia akan dilibatkan sebagai pihak pemungut pajak atas transaksi penjualan barang melalui sistem elektronik (PMSE). Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemungutan pajak dari transaksi online dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Pihak lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) akan melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pedagang dalam negeri dengan mekanisme perdagangan melalui sistem elektronik. Dengan demikian, diharapkan seluruh transaksi online dapat tercatat dan dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam lampiran I Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 tentang rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sekitar Rp 2.181 triliun. Angka ini terdiri dari penerimaan PPh sebesar Rp 1.209,27 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Rp 945,12 triliun, serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp 27,1 triliun. Target ini menunjukkan ambisi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak guna membiayai berbagai program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggalian potensi pajak melalui media sosial merupakan bagian dari upaya DJP untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan memastikan keadilan dalam sistem perpajakan. Pemerintah tidak akan memberlakukan mekanisme pemungutan pajak baru yang secara khusus menyasar aktivitas di media sosial, tetapi akan memanfaatkan data yang tersedia di media sosial sebagai data pembanding untuk mengevaluasi keakuratan SPT yang disampaikan oleh wajib pajak. Selain itu, pemerintah juga memiliki sejumlah rencana lain untuk meningkatkan penerimaan negara, termasuk rekomendasi penerapan cukai produk pangan olahan bernatrium, penguatan regulasi perpajakan dan PNBP, serta perbaikan proses bisnis untuk kegiatan ekspor dan impor logistik. Seluruh upaya ini dilakukan untuk mencapai target penerimaan pajak yang telah ditetapkan dalam APBN 2025 dan membiayai berbagai program pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Penjelasan DJP Soal Penggalian Potensi Pajak dari Media Sosial

More From Author

Ekonom Core Sebut Pembebasan Tarif Ekspor Produk AS Berisiko bagi Pertanian Indonesia

Trump Sebut RI Bakal Impor Produk Pertanian AS, Pengamat Ingatkan Hal Ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *