
Minggu sore yang kelabu di Dusun Wailissa, Desa Lokki, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, menjadi saksi bisu sebuah pemandangan yang memilukan sekaligus heroik. Sebanyak dua belas pasang bahu kokoh, milik para pria desa, berjibaku melawan terjangan ombak yang tak kenal ampun. Di atas pundak mereka, sebuah peti mati yang memuat jenazah Opa Octavianusi Sairpaly, salah seorang sesepuh yang baru saja berpulang, terayun-ayun mengikuti irama gelombang. Perjalanan menuju tempat peristirahatan terakhir ini bukanlah melalui jalan darat yang mulus, melainkan menyusuri bibir pantai yang kini diselimuti pasang air laut, mengubahnya menjadi jalur air yang berbahaya.
Setiap langkah yang mereka ambil adalah pertaruhan. Keseimbangan harus dijaga mati-matian. Peti yang dipanggul, meski diikat erat, bisa saja terlepas dihantam gelombang. Air laut yang mencapai dada orang dewasa memaksa mereka untuk berenang sambil tetap memikul beban berat. Deru ombak yang memecah di pesisir seolah menjadi ratapan pilu mengiringi kepergian Opa Octavianusi. Wajah-wajah para penggotong terpancar jelas keteguhan, namun tak bisa menyembunyikan kelelahan dan kecemasan yang mendalam. Ini bukan sekadar prosesi pemakaman biasa; ini adalah ujian nyata atas kebersamaan, ketabahan, dan sebuah paradoks pilu tentang akses dasar yang seharusnya dimiliki setiap warga negara.
Peristiwa ini, yang terekam dalam sebuah gambar memilukan dan viral di media sosial, bukan kali pertama terjadi. Bagi masyarakat Dusun Wailissa, pemandangan jenazah yang ditandu melintasi lautan adalah rutinitas pahit yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Tempat Pemakaman Umum (TPU) desa mereka berjarak sekitar satu kilometer dari pemukiman, namun akses darat yang layak nyaris tidak ada. Jika harus melewati jalur darat, rute yang tersedia adalah jalan memutar yang panjang, menembus hutan lebat, rawa-rawa berlumpur, dan medan yang terjal, membuat jalur tersebut praktis tidak bisa dilewati, apalagi untuk membawa jenazah. Pilihan pahit pun jatuh pada jalur laut, meski dengan segala risikonya.
Pendeta Melianus Sihasale, Ketua Majelis Jemaat GPM Lokki, dengan suara sarat keprihatinan, mengungkapkan betapa kondisi ini telah menjadi momok yang tak kunjung usai. "Hari ini kembali lagi kita, ada dalam prosesi pemakaman salah satu anggota jemaat, dan kondisi jalur ke tempat pemakaman umum lebih parah, kondisi air pasangnya sangat besar sampai setinggi dada orang dewasa," ujarnya, menggambarkan keputusasaan yang mendalam. Ia menambahkan bahwa tingginya gelombang dan pasang surut air laut seringkali menjadi penghalang terbesar, mengubah perjalanan duka menjadi sebuah ekspedisi yang penuh bahaya. Bayangan tergelincir, peti terlepas, atau bahkan terseret arus kuat adalah ketakutan nyata yang selalu menghantui setiap prosesi.
Ketiadaan infrastruktur jalan yang memadai ini bukan hanya sekadar masalah logistik, melainkan sebuah noda hitam pada martabat kemanusiaan. Bagaimana mungkin di era modern ini, sebuah masyarakat harus mempertaruhkan nyawa demi mengantarkan jenazah kerabat mereka ke tempat peristirahatan terakhir? Ini adalah cerminan nyata ketimpangan pembangunan yang masih terjadi di pelosok negeri, khususnya di daerah kepulauan terpencil seperti Maluku. Akses yang layak, termasuk jalan menuju pemakaman, seharusnya menjadi hak dasar yang difasilitasi oleh pemerintah.
Pendeta Melianus dan seluruh warga Dusun Wailissa berharap besar agar pemerintah daerah, baik tingkat kabupaten maupun provinsi, segera menaruh perhatian serius terhadap kondisi ini. Pembangunan infrastruktur jalan menuju TPU adalah kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda lagi. "Infrastruktur jalan sangat penting dibutuhkan saat ini, sebab prosesi pemakaman warga tidak bisa ditunda, jika sudah waktu ditentukan, jalan harus ada, proses pemakaman bisa berjalan dengan baik, dan menghindari hal-hal yang kita tidak inginkan bersama," imbuhnya dengan nada penuh harap.
Selama ini, upaya untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah desa setempat, Desa Lokki, telah berulang kali dilakukan. Warga Dusun Wailissa telah menyuarakan kondisi ini dan mengusulkan pembangunan jalan setapak dengan menggunakan anggaran dari Alokasi Dana Desa (ADD) ataupun Dana Desa (DD). Namun, entah mengapa, hingga kini suara-suara tersebut belum juga mendapatkan respons yang konkret. Janji-janji kerap terdengar, namun realisasi tak kunjung tiba. Akibatnya, setiap kali ada warga yang meninggal, drama menandu jenazah melintasi laut kembali terulang, menjadi saksi bisu atas lambatnya roda pembangunan dan respons birokrasi.
Kini, harapan terakhir warga Dusun Wailissa tertumpu pada Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat. Mereka memohon agar pemerintah kabupaten dapat mengambil langkah strategis dan segera mengalokasikan anggaran untuk pembangunan jalan ke TPU. Bukan sekadar jalan setapak biasa, melainkan sebuah jalur yang aman, yang dapat menahan terjangan pasang air laut, mungkin dengan pengerasan atau pembangunan jembatan kecil di beberapa titik kritis. Hal ini demi memastikan bahwa prosesi pemakaman di masa depan dapat berjalan dengan layak, aman, dan penuh martabat, tanpa harus mempertaruhkan nyawa para pengantar jenazah.
Kisah di Dusun Wailissa ini adalah pengingat keras bagi kita semua, khususnya para pemangku kebijakan, bahwa pembangunan bukan hanya tentang angka-angka ekonomi makro atau proyek-proyek mercusuar di kota-kota besar. Pembangunan yang sejati adalah tentang menyentuh langsung kehidupan masyarakat di pelosok-pelosok negeri, memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, memiliki akses terhadap fasilitas dasar yang layak, bahkan hingga ke urusan terakhir seperti pemakaman. Ini adalah tentang hadirnya negara dalam setiap sendi kehidupan rakyatnya, menopang mereka di saat-saat paling sulit, dan memberikan jaminan bahwa duka tidak perlu bertambah berat karena minimnya infrastruktur.
Semoga kisah perjuangan tak bertepi masyarakat Dusun Wailissa ini dapat membuka mata hati dan menggerakkan langkah konkret dari pihak-pihak berwenang. Agar kelak, tidak ada lagi jenazah yang harus ditandu melintasi lautan badai, dan setiap warga bisa berpulang dengan tenang, diantar ke peristirahatan terakhir melalui jalan yang layak, sebagaimana mestinya.
