Polemik Tanah Tak Bersertifikat dan Ambisi Investasi Rp 7.500 Triliun: Dua Isu Krusial Perekonomian Nasional

Polemik Tanah Tak Bersertifikat dan Ambisi Investasi Rp 7.500 Triliun: Dua Isu Krusial Perekonomian Nasional

Dua isu krusial yang menyita perhatian publik dan menjadi topik terpopuler pada Selasa (1/7) adalah bantahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengenai kabar penarikan tanah tak bersertifikat oleh negara pada tahun 2026, serta proyeksi kebutuhan investasi fantastis sebesar Rp 7.500 triliun untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun yang sama. Kedua isu ini, meskipun berbeda fokus, sama-sama menyoroti pentingnya kepastian hukum dalam kepemilikan aset dan dorongan ekonomi yang masif untuk keberlanjutan pembangunan nasional.

Meluruskan Mitos: Klarifikasi Kementerian ATR/BPN tentang Tanah Tak Bersertifikat

Kabar yang beredar luas di masyarakat tentang tanah girik atau tanah adat yang belum bersertifikat akan diambil alih oleh negara mulai tahun 2026 telah menimbulkan keresahan. Namun, Kementerian ATR/BPN dengan tegas membantah informasi tersebut, meluruskannya sebagai disinformasi yang menyesatkan. Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN, Asnaedi, dalam keterangan resminya, menyatakan bahwa klaim tersebut "tidak benar sama sekali."

Untuk memahami duduk perkaranya, penting untuk meninjau kembali status hukum tanah girik, verponding, atau bekas hak lama lainnya. Sejak lama, dokumen-dokumen ini memang bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah secara hukum, melainkan hanya petunjuk atau indikasi adanya hak atau penguasaan atas tanah di masa lampau. Statusnya berbeda dengan sertifikat hak milik yang dikeluarkan oleh BPN, yang merupakan bukti otentik dan kuat atas kepemilikan tanah. Meskipun demikian, dokumen-dokumen tersebut tetap diakui sebagai dasar untuk pengakuan dan pendaftaran hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Ini berarti, selama tanah tersebut masih dikuasai oleh pemiliknya dan didukung oleh dokumen girik yang ada, tidak ada dasar bagi negara untuk mengambil alih tanah tersebut.

Asnaedi menekankan, "Kalau tanahnya masih dikuasai dan giriknya masih ada, ya tidak ada tanah yang akan diambil negara." Pernyataan ini bertujuan menenangkan masyarakat dan meluruskan persepsi yang keliru. Polemik ini muncul karena interpretasi yang salah terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 96. Aturan tersebut memang menetapkan bahwa tanah bekas milik adat wajib didaftarkan paling lambat lima tahun sejak aturan itu berlaku, yang berarti batas waktu pendaftaran adalah hingga tahun 2026. Namun, tujuan dari penetapan batas waktu ini bukanlah untuk merampas hak kepemilikan, melainkan justru untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat.

Program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) yang digalakkan pemerintah adalah wujud nyata dari komitmen ini. Melalui PTSL, masyarakat diberikan kemudahan dan percepatan dalam proses sertifikasi tanah mereka, seringkali dengan biaya yang lebih ringan atau bahkan gratis. Ini adalah kesempatan bagi pemilik tanah untuk mengubah status tanah girik mereka menjadi sertifikat hak milik yang memiliki kekuatan hukum penuh. Sertifikat ini tidak hanya memberikan rasa aman dan kepastian hukum, tetapi juga meningkatkan nilai ekonomi tanah. Tanah yang bersertifikat lebih mudah dijaminkan untuk modal usaha, dijual, atau diwariskan, serta mengurangi potensi sengketa dan konflik agraria.

Kementerian ATR/BPN secara aktif mendorong masyarakat untuk segera mendaftarkan tanah mereka. "Ini justru jadi momentum agar masyarakat menyertipikatkan tanahnya. Negara hadir untuk memberikan kepastian hukum, bukan mengambil hak masyarakat," tegas Asnaedi. Dengan adanya sertifikat, hak-hak atas tanah masyarakat akan terlindungi secara hukum, dan data pertanahan nasional akan semakin lengkap dan akurat, mendukung perencanaan pembangunan yang lebih baik. Ketidakpastian kepemilikan tanah dapat menghambat investasi, memicu sengketa, dan bahkan menghambat program-program pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, percepatan sertifikasi tanah adalah langkah fundamental untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan masyarakat yang sejahtera.

Ambisi Ekonomi: Kebutuhan Investasi Rp 7.500 Triliun untuk Pertumbuhan Berkelanjutan

Di sisi lain, tantangan besar yang dihadapi Indonesia adalah mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 di DPR RI, bahwa Indonesia membutuhkan suntikan investasi sebesar Rp 7.500 triliun untuk mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dipatok di kisaran 5,2 persen hingga 5,8 persen pada tahun 2026. Angka ini mencerminkan betapa besarnya upaya yang harus dilakukan untuk menggerakkan roda perekonomian nasional pasca-pandemi dan di tengah ketidakpastian global.

Sri Mulyani menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang optimal tidak mungkin tercapai tanpa dorongan investasi yang kuat dan berkelanjutan. Investasi, baik domestik maupun asing, berkontribusi signifikan, sekitar 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Ini berarti setiap rupiah yang diinvestasikan akan memiliki efek berganda dalam menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kapasitas produksi, dan mendorong inovasi. "Pertumbuhan investasi harus dijaga atau bahkan ditingkatkan hingga 5,9 persen year-on-year. Ini berarti diperlukan suntikan investasi baru minimal Rp 7.500 triliun," jelasnya.

Namun, investasi saja tidak cukup. Komponen lain yang tak kalah vital adalah konsumsi rumah tangga, yang menyumbang sekitar 55 persen dari PDB Indonesia. Untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga perlu didorong agar tumbuh minimal 5,5 persen. Hal ini membutuhkan strategi komprehensif dari pemerintah, termasuk menciptakan lapangan kerja yang luas agar pendapatan masyarakat meningkat, menjaga daya beli tetap stabil, dan mengendalikan inflasi agar tetap rendah. Jika konsumsi rumah tangga dan investasi digabungkan, keduanya menyumbang sekitar 85 persen terhadap total perekonomian nasional, menjadikannya motor penggerak utama pertumbuhan.

Pemerintah juga menyoroti peran strategis Badan Pengelola Investasi (BPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) yang kini dipimpin oleh Rosan Roeslani. INA diharapkan menjadi katalisator utama dalam menarik investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, terutama di sektor-sektor strategis yang memiliki nilai tambah tinggi. Sektor-sektor ini meliputi infrastruktur, energi terbarukan, manufaktur, pariwisata, hingga ekonomi digital. Dengan memfasilitasi investasi di sektor-sektor kunci, INA dapat membantu memitigasi risiko bagi investor dan mempercepat realisasi proyek-proyek besar yang krusial bagi pertumbuhan ekonomi.

Lingkungan global yang penuh ketidakpastian, mulai dari tensi geopolitik, fragmentasi rantai pasok global, hingga tekanan inflasi, menuntut pemerintah untuk bekerja ekstra keras. Peran swasta sebagai "motor utama pertumbuhan ekonomi" menjadi sangat vital. Oleh karena itu, pemerintah harus terus menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui reformasi regulasi, penyederhanaan perizinan, dan pemberian insentif yang menarik. Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) adalah salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kemudahan berusaha dan menarik lebih banyak investasi.

Secara keseluruhan, tantangan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius pada tahun 2026 tidak hanya bergantung pada suntikan investasi yang masif, tetapi juga pada kemampuan pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan kepastian hukum.

Dua berita populer ini, meskipun membahas isu yang berbeda, sejatinya saling berkaitan dalam kerangka pembangunan nasional. Kepastian hukum atas kepemilikan tanah adalah fondasi bagi stabilitas sosial dan ekonomi, yang pada gilirannya akan menarik investasi. Sementara itu, investasi yang besar dan terarah adalah lokomotif yang akan menarik gerbong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sinergi antara kebijakan agraria yang jelas dan strategi investasi yang agresif akan menjadi kunci bagi Indonesia untuk melangkah maju menuju masa depan yang lebih stabil dan sejahtera.

Polemik Tanah Tak Bersertifikat dan Ambisi Investasi Rp 7.500 Triliun: Dua Isu Krusial Perekonomian Nasional

More From Author

Daftar 52 BUMN yang Dilarang Rombak Direksi oleh Danantara

Kuartal 1 2025 Pendapatan Operasional Konsolidasi Garuda Indonesia Naik 1,63 Persen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *