
Saat Buruh Korban PHK Orasi dan Bentangkan Spanduk di Rapat Paripurna
Medan, Sumatera Utara – Aksi unjuk rasa mewarnai Rapat Paripurna DPRD Sumatera Utara pada Kamis, 17 Juli 2025, ketika Wakil Gubernur Sumatera Utara, Surya, tengah menyampaikan nota jawaban gubernur terhadap pemandangan umum fraksi mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumut 2025-2029. Di tengah suasana rapat yang sebagian besar diwarnai oleh kursi-kursi OPD yang kosong dan anggota dewan yang tampak kurang fokus, tiba-tiba muncul tiga orang yang berdiri sambil membentangkan spanduk dan melancarkan orasi.
Kejadian ini sontak mengagetkan peserta rapat. Petugas keamanan dengan sigap bergerak cepat untuk menarik keluar para pengunjuk rasa dari ruang rapat. Namun, sebelum berhasil dihalau sepenuhnya, salah seorang dari mereka sempat melemparkan kertas pernyataan aksi ke lantai. Isi dari pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa mereka berasal dari Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) Wilayah Sumatera Utara.
Aksi nekat ini dilakukan sebagai bentuk protes dan upaya untuk mengingatkan Surya, yang sebelumnya menjabat sebagai bupati Asahan, mengenai nasib delapan buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Selain itu, mereka juga menyoroti berbagai permasalahan lain yang dialami oleh para buruh di CV Berkah Sawit Sejahtera (CV BSS) yang berlokasi di Kecamatan Bandarpasirmandoge, Kabupaten Asahan. Permasalahan tersebut mencakup upah murah yang masih dipotong, pemberangusan serikat pekerja, jam kerja yang berlebihan, dan ketidakpastian status kerja.
"Kami mendesak DPRD Sumut segera melakukan RDP karena sejak 14 Mei 2025, FPBI telah melayangkan surat. Namun sampai dua bulan lebih, badan musyawarah tidak pernah membahas penetapan tanggal RDP. Eksekutif dan legislatif tidak serius mengusut dan memberi perlindungan terhadap delapan buruh," teriak Sahid, salah seorang pengunjuk rasa, yang sempat membuat Surya berhenti sejenak dari membaca nota jawaban sebelum akhirnya melanjutkan kembali.
Setelah ditarik keluar dari gedung DPRD Sumut, massa aksi dibawa ke pos pengamanan. Di sana, mereka terus melanjutkan orasi, menuntut agar Surya atau Ketua Komisi E Subandi bersedia menemui mereka. Kepala Subbagian Humas DPRD Sumut, Sofyan, yang akhirnya menemui massa aksi, menyampaikan alasan bahwa kedua pejabat yang diminta tidak dapat keluar karena sedang mengikuti rapat paripurna. Sofyan kemudian meminta surat permohonan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan berjanji akan segera merealisasikannya pada akhir bulan Juli.
Didi Herdianto, Pimpinan Wilayah FPBI Sumut, menjelaskan bahwa aksi yang dilakukan di tengah rapat paripurna tersebut merupakan kelanjutan dari upaya-upaya sebelumnya yang belum membuahkan hasil. "Ini aksi lanjutan. Surat kami sudah masuk dari Mei 2025, tapi dua kali Bamus diabaikan. Kami datang baik-baik, mereka terus membuat janji. Akhirnya di sidang paripurna ini kami tentukan arah perjuangan. DPRD Sumut harus menanggapi persoalan delapan pekerja yang di PHK sepihak. Kasih kepastian hukum dan hak normatif mereka," tegas Didi.
Didi menceritakan bahwa pada tanggal 18 November 2024, delapan buruh CV BSS mendirikan FPBI secara sah dan legal. Namun, alih-alih mengakui hak berserikat, perusahaan justru melakukan pemotongan upah. Upaya perundingan bipartit yang diajukan sebanyak empat kali juga ditolak oleh perusahaan. Puncaknya, kedelapan buruh tersebut di-PHK sepihak pada tanggal 7 Desember 2024.
Upaya mediasi yang dilakukan ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Asahan pada tanggal 23 Desember 2024 dan 7 Januari 2025 juga tidak membuahkan hasil. Dua laporan resmi yang dilayangkan ke UPT Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah 4 pada Desember 2024 dan Maret 2025 hingga saat ini belum ditindaklanjuti. Surat yang dikirimkan ke Ombudsman perwakilan Sumut pada tanggal 24 Februari 2025 juga tidak mendapatkan respons.
"Saat kedelapan buruh masih memperjuangkan haknya, CV BSS berganti manajemen. Awal 2025, menjadi PT Indotech Asia Utama. Kami menduga, pergantian nama dan manajemen adalah cara licik untuk menghindari tanggung jawab," ungkap Didi.
FPBI bersama Akbar Sumut kemudian menyurati ketua DPRD Sumut dan Komisi E agar digelar RDP pada tanggal 14 Mei 2025. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil, dan berkali-kali mereka mendatangi gedung dewan tanpa ada pembahasan yang dilakukan. Didi menuding bahwa sikap anggota dewan tersebut merupakan bukti ketidakberpihakan kepada rakyat dan tunduk pada tekanan modal dan kepentingan korporasi.
"Kasus ini bukan hanya persoalan ketenagakerjaan, sudah masuk ranah kejahatan kemanusiaan. Perangkat negara gagal memberi keadilan kepada korban. Diamnya lembaga negara adalah bentuk pengkhianatan kepada konstitusi dan rakyat yang mereka wakili. Kami menuntut DPRD Sumut segera menjadwalkan RDP terbuka, memanggil manajemen CV BSS dan mengembalikan semua hak buruh tanpa syarat!" tegas Didi.
Erwin Sirait, salah satu perwakilan buruh yang dipecat sekaligus Ketua PTP CV BSS, menambahkan bahwa segala proses nonlitigasi yang telah mereka lakukan hingga saat ini tidak mendapatkan tanggapan. Aksi yang dilakukan di sidang paripurna DPRD Sumut dianggap sebagai momen yang tepat untuk menyampaikan aspirasi agar didengar oleh para wakil rakyat.
"Tuntutan gak banyak, kami mau dipekerjakan kembali. Tapi akhirnya, seperti mempermainkan alibi dengan mengalihkan perusahaan ke perusahaan yang baru. Sedangkan hak-hak kami belum diberikan. Kami gak tahu mau mengadu ke mana lagi," keluh Erwin.
Hingga berita ini diturunkan, Manager CV BSS Irpanda Lubis belum memberikan respons terhadap panggilan telepon dan pesan singkat yang dikirimkan oleh Tempo.
Analisis Situasi dan Implikasi
Aksi yang dilakukan oleh FPBI di Rapat Paripurna DPRD Sumut ini merupakan eskalasi dari kekecewaan dan frustrasi yang dirasakan oleh para buruh yang menjadi korban PHK sepihak dan berbagai pelanggaran hak-hak normatif lainnya. Aksi ini menunjukkan bahwa para buruh merasa bahwa saluran-saluran komunikasi dan penyelesaian masalah yang ada tidak berfungsi dengan baik, sehingga mereka terpaksa mengambil tindakan yang lebih ekstrem untuk menarik perhatian publik dan para pengambil kebijakan.
Beberapa poin penting yang dapat dianalisis dari situasi ini adalah:
- Lemahnya Perlindungan terhadap Hak-Hak Buruh: Kasus ini menyoroti lemahnya perlindungan terhadap hak-hak buruh di tingkat daerah. Meskipun terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketenagakerjaan dan perlindungan buruh, implementasinya masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari adanya PHK sepihak, pemotongan upah, pemberangusan serikat pekerja, dan kondisi kerja yang tidak manusiawi.
- Kurangnya Responsif Pemerintah Daerah: Pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif, dinilai kurang responsif dalam menangani permasalahan yang dihadapi oleh para buruh. Hal ini tercermin dari lambatnya proses mediasi, tidak ditindaklanjutinya laporan ke pengawas ketenagakerjaan, dan tidak adanya respons dari Ombudsman.
- Potensi Konflik Industrial: Kasus ini berpotensi memicu konflik industrial yang lebih besar jika tidak segera ditangani dengan serius. Aksi-aksi protes dan demonstrasi dapat terus berlanjut dan bahkan meluas jika tuntutan para buruh tidak dipenuhi.
- Citra Negatif Investasi: Kasus-kasus pelanggaran hak-hak buruh dapat memberikan citra negatif terhadap iklim investasi di daerah tersebut. Investor akan berpikir dua kali untuk berinvestasi di daerah yang tidak menjamin perlindungan terhadap hak-hak buruh dan kepastian hukum.
Rekomendasi
Untuk mengatasi permasalahan ini dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan, beberapa rekomendasi yang dapat diajukan adalah:
- Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum: Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayahnya untuk memastikan bahwa mereka mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran hak-hak buruh.
- Peningkatan Kapasitas Mediator dan Pengawas Ketenagakerjaan: Pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas mediator dan pengawas ketenagakerjaan agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan lebih efektif. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dan peningkatan kompetensi.
- Peningkatan Dialog Sosial: Pemerintah daerah perlu memfasilitasi dialog sosial antara pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah untuk mencari solusi yang saling menguntungkan dalam menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Pemerintah daerah perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan ketenagakerjaan. Informasi mengenai kebijakan dan program-program pemerintah harus disampaikan secara terbuka kepada publik.
- Peran Aktif DPRD: DPRD sebagai lembaga legislatif memiliki peran penting dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah dan menampung aspirasi masyarakat, termasuk para buruh. DPRD perlu lebih aktif dalam membahas permasalahan ketenagakerjaan dan mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan yang diperlukan.
- Penyelesaian Kasus yang Adil dan Cepat: Pemerintah daerah harus segera menyelesaikan kasus PHK sepihak dan pelanggaran hak-hak buruh lainnya secara adil dan cepat. Hal ini akan memberikan kepastian hukum bagi para buruh dan mencegah terjadinya konflik yang berkepanjangan.
Dengan mengambil langkah-langkah yang komprehensif dan terkoordinasi, diharapkan permasalahan ketenagakerjaan di Sumatera Utara dapat diatasi dan hak-hak buruh dapat dilindungi dengan lebih baik. Hal ini akan menciptakan iklim investasi yang kondusif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
