Sejuta Sarjana Masih Pengangguran, DPR Minta Pemerintah Evaluasi

Sejuta Sarjana Masih Pengangguran, DPR Minta Pemerintah Evaluasi

Sejuta Sarjana Masih Pengangguran, DPR Minta Pemerintah Evaluasi

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan dan kebijakan ketenagakerjaan nasional, menyusul temuan bahwa lebih dari satu juta lulusan sarjana di Indonesia masih menganggur. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Februari 2025, terdapat 1.010.652 sarjana yang tidak memiliki pekerjaan, sebuah angka yang menurut DPR mencerminkan adanya permasalahan struktural dalam pembangunan ekonomi dan kesenjangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan pasar kerja.

Ketua DPR RI, Puan Maharani, dalam keterangan tertulisnya menyatakan keprihatinannya atas tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana. Ia menilai bahwa kondisi ini mengindikasikan adanya ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan tinggi dengan kebutuhan industri dan dunia usaha. "Ini menandakan bahwa sistem kita, baik pendidikan maupun pasar kerja, belum terkoneksi dengan kebutuhan nyata dunia usaha dan industri," ujarnya.

Puan menambahkan bahwa fenomena pengangguran sarjana merupakan potret stagnasi perencanaan pembangunan manusia nasional. Jika masalah ini tidak segera ditangani dengan serius, bonus demografi yang seharusnya menjadi keuntungan bagi Indonesia justru berpotensi menjadi beban sosial dan ekonomi yang besar.

Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa total pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang pada Februari 2025. Dari jumlah tersebut, lulusan universitas menyumbang angka yang signifikan, yaitu 1,01 juta orang. Tingkat pengangguran secara keseluruhan mencapai 4,76 persen dari angkatan kerja Indonesia.

Selain lulusan universitas, kelompok pendidikan lain juga menyumbang angka pengangguran yang cukup besar. Lulusan SD dan SMP menduduki peringkat pertama dengan 2,42 juta orang, diikuti oleh lulusan SMA sebanyak 2,04 juta orang, lulusan SMK sebanyak 1,63 juta orang, dan lulusan diploma sebanyak 177,39 ribu orang.

Menanggapi situasi ini, DPR mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah korektif yang komprehensif dan berkelanjutan. Puan Maharani secara khusus meminta pemerintah untuk mengevaluasi sistem pendidikan tinggi dan SMK agar lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja dalam jangka waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan.

"Mendorong agar pemerintah mengevaluasi sistem pendidikan tinggi dan SMK, agar lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja lima hingga sepuluh tahun ke depan," tegasnya.

Puan menekankan bahwa kampus dan SMK seharusnya menjadi bagian integral dari ekosistem produktif nasional, bukan hanya sekadar tempat untuk mendapatkan gelar akademik. Ia menyarankan pemerintah pusat untuk membentuk pusat pengembangan keterampilan nasional di berbagai wilayah, yang berfungsi sebagai fasilitas pelatihan ulang dan pelatihan lanjutan bagi para pencari kerja.

"Kita butuh pusat pelatihan berbasis industri yang tanggap terhadap kebutuhan zaman," ujarnya. Pusat pelatihan ini harus mampu memberikan keterampilan yang relevan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industri, mulai dari teknologi digital, pertanian modern, logistik, hingga energi terbarukan.

Selain itu, DPR juga menyoroti pentingnya kebijakan di sektor produktif dan investasi lapangan kerja yang berfokus pada industri padat karya bernilai tambah, sektor hijau, dan ekonomi digital. Regulasi dan insentif fiskal harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan lebih banyak ruang kerja formal, bukan hanya menumbuhkan sektor informal.

Puan juga mendorong pemerintah untuk membangun platform digital terpadu lintas kementerian, yang dapat digunakan untuk memetakan kebutuhan tenaga kerja sektoral secara dinamis. Platform ini harus melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Kementerian Perindustrian, serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

"Selama kementerian dan lembaga masih bekerja dalam sekat masing-masing, masalah pengangguran tidak akan pernah selesai," tegasnya.

Evaluasi sistem pendidikan tinggi menjadi krusial karena beberapa faktor. Pertama, kurikulum yang ada dinilai kurang relevan dengan kebutuhan industri. Banyak lulusan yang memiliki pengetahuan teoritis yang memadai, tetapi kurang memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan di dunia kerja. Kedua, kurangnya sinkronisasi antara program studi yang ditawarkan oleh perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja. Hal ini menyebabkan terjadinya kelebihan pasokan lulusan di bidang-bidang tertentu, sementara di bidang lain justru kekurangan tenaga kerja. Ketiga, kurangnya fasilitas dan infrastruktur yang memadai di beberapa perguruan tinggi, terutama di daerah-daerah terpencil, yang menghambat pengembangan keterampilan mahasiswa.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah konkret. Pertama, melakukan revisi kurikulum pendidikan tinggi secara berkala, dengan melibatkan pihak industri dan dunia usaha. Kurikulum harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Kedua, mendorong perguruan tinggi untuk membuka program studi yang relevan dengan kebutuhan industri dan dunia usaha, terutama di sektor-sektor yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi, seperti teknologi informasi, energi terbarukan, dan industri kreatif. Ketiga, meningkatkan kualitas dosen dan tenaga pengajar, melalui pelatihan dan pengembangan profesional yang berkelanjutan. Keempat, meningkatkan fasilitas dan infrastruktur di perguruan tinggi, terutama di daerah-daerah terpencil, agar mahasiswa dapat belajar dan mengembangkan keterampilan dengan lebih optimal.

Selain evaluasi sistem pendidikan tinggi, pemerintah juga perlu melakukan reformasi kebijakan ketenagakerjaan. Kebijakan ketenagakerjaan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja yang berkualitas. Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain: pertama, menyederhanakan regulasi dan birokrasi terkait ketenagakerjaan, agar perusahaan lebih mudah merekrut dan mempekerjakan tenaga kerja. Kedua, memberikan insentif kepada perusahaan yang menciptakan lapangan kerja baru, terutama di sektor-sektor yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi. Ketiga, meningkatkan kualitas pelatihan dan pendidikan vokasi, agar tenaga kerja Indonesia memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Keempat, memperkuat perlindungan terhadap tenaga kerja, terutama terkait dengan hak-hak pekerja dan keselamatan kerja.

Pemerintah juga perlu mengembangkan ekosistem kewirausahaan yang kondusif, agar semakin banyak lulusan perguruan tinggi yang tertarik untuk membuka usaha sendiri. Pemerintah dapat memberikan dukungan kepada para wirausahawan muda melalui berbagai program, seperti pelatihan kewirausahaan, pendampingan bisnis, dan akses ke pembiayaan. Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan iklim bisnis yang kondusif, dengan mengurangi regulasi yang menghambat pertumbuhan usaha kecil dan menengah (UKM).

Dengan melakukan evaluasi sistem pendidikan, reformasi kebijakan ketenagakerjaan, dan pengembangan ekosistem kewirausahaan yang kondusif, diharapkan angka pengangguran di kalangan sarjana dapat ditekan dan bonus demografi dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pemerintah perlu bertindak cepat dan berani mengambil langkah-langkah korektif yang komprehensif dan berkelanjutan, agar masalah pengangguran tidak menjadi beban sosial dan ekonomi yang berkepanjangan.

Sejuta Sarjana Masih Pengangguran, DPR Minta Pemerintah Evaluasi

More From Author

Ini Tujuan Pemerintah Terbitkan Sukuk Global Syariah US$ 2,2 Miliar

Rupiah Hari Ini Diprediksi Melemah hingga Rp 16.380 per Dolar AS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *