
Pontianak – Setelah sempat menimbulkan kekhawatiran publik atas kabar hilangnya dua korban dugaan pelecehan seksual di sebuah panti sosial, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Pontianak akhirnya memberikan kepastian yang melegakan. Dua anak korban tersebut kini berada dalam kondisi aman dan terlindungi, meskipun identitas pendamping yang menjemput mereka masih dirahasiakan demi alasan keamanan dan proses pemulihan. Kasus ini semakin mencuat setelah terungkap bahwa terduga pelaku merupakan oknum yang bernaung di bawah Dinas Sosial, memicu sorotan tajam terhadap sistem pengawasan di lembaga perlindungan anak.
Kronologi dan Kekhawatiran Awal
Pekan lalu, masyarakat Pontianak dikejutkan dengan informasi yang beredar mengenai hilangnya dua dari enam anak korban dugaan pelecehan di salah satu panti sosial di wilayah tersebut. Panti sosial, yang seharusnya menjadi benteng perlindungan bagi anak-anak rentan, justru menjadi lokasi di mana insiden memilukan ini terjadi. Enam anak yang sebelumnya dilaporkan menjadi korban pelecehan, mayoritas di antaranya merupakan anak-anak yang memiliki latar belakang rentan atau telah lama tinggal di panti tersebut, kini menghadapi trauma ganda: sebagai korban pelecehan dan, bagi dua di antaranya, sebagai pihak yang sempat dikhawatirkan menghilang.
Kekhawatiran publik memuncak ketika pihak berwenang belum bisa memberikan informasi pasti mengenai keberadaan dua anak tersebut. Isu tentang mereka dibawa oleh pihak tak dikenal atau bahkan kabur dari panti sempat menyeruak, menambah daftar panjang kecemasan terhadap nasib para korban. Situasi ini menyoroti urgensi koordinasi antarlembaga dan transparansi informasi dalam penanganan kasus sensitif yang melibatkan anak-anak.
Klarifikasi KPAD Pontianak: Korban Aman dalam Perlindungan
Komisioner Divisi Kekerasan Seksual KPAD Kota Pontianak, Ameldalia, yang akrab disapa Lia, akhirnya angkat bicara untuk menenangkan situasi. Lia memastikan bahwa kedua anak korban pelecehan yang sempat dikabarkan hilang tersebut kini berada dalam keadaan aman dan terkendali. "Dua anak korban pelecehan ini dalam keadaan aman bersama pendamping yang menjemputnya pada Sabtu, 28 Juni 2025 lalu," ungkap Lia pada Rabu, 2 Juli 2025. Pernyataan ini menjadi titik terang setelah beberapa hari spekulasi dan kekhawatiran.
Meskipun demikian, Lia memilih untuk tidak membuka identitas pendamping yang membawa kedua korban tersebut ke tempat aman. Keputusan ini, menurutnya, didasari oleh pertimbangan serius demi keamanan dan privasi para korban. "Anak-anak di shelter aman. Saya sudah berkomunikasi dengan mereka via telepon. Karena kunjungan sangat dibatasi untuk keamanan mereka," tambahnya. Pembatasan akses ini bertujuan untuk meminimalkan potensi trauma lanjutan, memastikan proses pemulihan psikologis berjalan optimal tanpa gangguan, serta menjaga kerahasiaan lokasi shelter dari pihak-pihak yang mungkin memiliki niat tidak baik. KPAD menegaskan komitmennya untuk memastikan pemulihan fisik dan mental para korban menjadi prioritas utama.
Dinamika Penanganan Antar Lembaga: KPAD, DP3A, dan Dinsos
Penanganan kasus ini melibatkan beberapa lembaga pemerintah yang memiliki peran masing-masing dalam perlindungan anak. Selain KPAD, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Kalimantan Barat dan Dinas Sosial (Dinsos) Kalimantan Barat juga turut serta dalam upaya penanganan dan pemulihan korban.
Kepala DP3A Provinsi Kalbar, Herkulana Mekarryani, membenarkan bahwa pihaknya hanya menerima empat dari enam anak korban pelecehan tersebut. "Kami hanya menerima empat orang anak. Berarti memang tidak ada sama sekali (dua lainnya)," jelas Herkulana, mengonfirmasi bahwa dua anak lainnya memang tidak berada di bawah penanganan DP3A. Ia sedikit mengetahui bahwa dua korban lainnya diamankan oleh sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Namun, secara rinci Herkulana tidak mengetahui nama dan siapa orang di balik LBH ini. "LBH itu kita tidak tahu siapa. Nama LBH apa, kami tidak pernah tahu. Karena yang diserahkan ke kami hanya 4 orang pada saat itu," ujarnya. Pernyataan Herkulana ini menunjukkan adanya sedikit ketidakjelasan atau kurangnya koordinasi informasi antara lembaga-lembaga yang terlibat, terutama terkait dengan pihak yang mengambil alih dua korban tersebut.
Namun, konfirmasi yang paling mengejutkan datang dari Kepala Dinas Sosial Kalimantan Barat, Raminuddin. Ia ternyata juga mengetahui keberadaan kedua korban yang diduga dicabuli oleh anak buahnya ini. "Memang kedua korban diamankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sebelumnya memasukkan anak-anak ini ke panti sosial. Dua korban diamankan orang tua asuhnya yang juga LSM. Sementara empat korban kita amankan untuk pemulihan psikis di rumah perlindungan atau shelter salah satu OPD terkait," kata Raminuddin.
Pernyataan Raminuddin ini sangat krusial karena dua alasan. Pertama, ia mengklarifikasi bahwa pihak yang mengamankan dua korban tersebut adalah LSM yang juga merupakan "orang tua asuh" mereka, bukan sekadar LBH yang tidak jelas identitasnya. Ini menunjukkan adanya ikatan emosional dan tanggung jawab jangka panjang dari LSM tersebut terhadap anak-anak korban. Kedua, dan yang paling menggemparkan, Raminuddin secara terbuka mengakui bahwa terduga pelaku pelecehan tersebut adalah salah satu oknum yang bernaung di bawah instansinya, yakni Dinas Sosial. Ini merupakan pukulan telak bagi kredibilitas lembaga sosial yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan anak.
Pentingnya Kerahasiaan dan Pemulihan Psikologis
Keputusan KPAD untuk merahasiakan identitas pendamping dan lokasi shelter bagi kedua korban adalah langkah yang tepat. Dalam kasus pelecehan seksual, terutama yang melibatkan anak-anak, kerahasiaan dan perlindungan korban adalah prioritas utama. Paparan media atau interaksi dengan pihak yang tidak berkepentingan dapat memperburuk trauma yang sudah ada. Shelter rahasia berfungsi sebagai lingkungan yang aman, jauh dari sorotan publik dan potensi ancaman dari pihak pelaku atau jaringannya.
Di shelter, para korban akan mendapatkan berbagai bentuk dukungan, termasuk asesmen psikologis mendalam, konseling trauma, terapi bermain (jika usia memungkinkan), serta dukungan sosial dan emosional. Tujuan utamanya adalah membantu anak-anak memproses pengalaman traumatis mereka, membangun kembali rasa aman, dan mengembangkan mekanisme koping yang sehat. Proses ini seringkali membutuhkan waktu yang panjang dan pendekatan yang sangat hati-hati, melibatkan psikolog, pekerja sosial, dan pendamping yang terlatih khusus dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada anak.
Tanggung Jawab Lembaga dan Proses Hukum
Pengakuan Kepala Dinsos Kalbar, Raminuddin, bahwa terduga pelaku adalah "anak buahnya" atau oknum di bawah Dinsos, menempatkan kasus ini dalam dimensi yang lebih serius. Hal ini menuntut pertanggungjawaban institusi dan tindakan tegas terhadap pelaku. Pihak kepolisian diharapkan segera mengambil langkah hukum untuk mengusut tuntas kasus ini, mengumpulkan bukti, dan memastikan pelaku diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Tidak hanya itu, Dinsos sendiri harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen, pengawasan, dan pembinaan staf di seluruh panti sosial di bawah wewenangnya untuk mencegah terulangnya insiden serupa.
Langkah-langkah yang perlu diambil meliputi:
- Penegakan Hukum: Memastikan proses hukum terhadap terduga pelaku berjalan transparan dan seadil-adilnya. Ini termasuk penyelidikan polisi, penetapan tersangka, dan persidangan.
- Sanksi Internal: Dinsos harus memberikan sanksi tegas kepada oknum pelaku, mulai dari pemecatan hingga tindakan administratif lainnya, sesuai dengan aturan kepegawaian.
- Audit dan Evaluasi: Melakukan audit menyeluruh terhadap prosedur operasional standar (SOP) di panti-panti sosial, termasuk sistem pengawasan staf, mekanisme pengaduan, dan program perlindungan anak.
- Pelatihan Staf: Memberikan pelatihan berkelanjutan kepada seluruh staf panti sosial mengenai etika profesi, tanda-tanda kekerasan pada anak, dan tata cara pelaporan.
- Peningkatan Kualitas Layanan: Memastikan fasilitas panti sosial memadai, lingkungan yang aman, dan program yang mendukung tumbuh kembang anak secara positif.
Peran LSM dan Orang Tua Asuh
Keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga bertindak sebagai orang tua asuh bagi dua korban menunjukkan pentingnya peran organisasi non-pemerintah dalam sistem perlindungan anak. LSM seringkali menjadi garda terdepan dalam menemukan, mendampingi, dan memperjuangkan hak-hak anak korban. Dalam kasus ini, LSM tersebut tidak hanya melaporkan, tetapi juga mengambil inisiatif untuk mengamankan korban, menunjukkan dedikasi dan tanggung jawab yang luar biasa.
Kolaborasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil (CSO) seperti LSM dan LBH sangat krusial dalam menciptakan sistem perlindungan anak yang komprehensif. Masing-masing pihak memiliki kekuatan dan sumber daya yang saling melengkapi. Pemerintah memiliki kewenangan dan sumber daya finansial, sementara CSO memiliki fleksibilitas, jaringan akar rumput, dan seringkali keahlian khusus dalam penanganan kasus yang sensitif.
Membangun Kembali Kepercayaan Publik
Kasus pelecehan di panti sosial, apalagi dengan melibatkan oknum dari instansi pemerintah, sangat berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya melindungi anak. Oleh karena itu, selain penegakan hukum dan pemulihan korban, upaya serius untuk membangun kembali kepercayaan ini mutlak diperlukan. Transparansi, akuntabilitas, dan komitmen nyata terhadap reformasi adalah kunci.
Pemerintah daerah, melalui KPAD, DP3A, dan Dinsos, harus secara terbuka menginformasikan perkembangan kasus, langkah-langkah perbaikan yang diambil, dan hasil evaluasi internal. Masyarakat juga perlu diedukasi tentang pentingnya melaporkan dugaan kekerasan dan peran mereka dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.
Insiden ini menjadi pengingat yang menyakitkan bahwa ancaman terhadap anak-anak bisa datang dari mana saja, bahkan dari tempat yang seharusnya menjadi rumah aman. Namun, respon cepat dari KPAD dan konfirmasi keberadaan korban memberikan secercah harapan. Tantangan selanjutnya adalah memastikan keadilan ditegakkan bagi para korban, pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya, dan sistem perlindungan anak di Pontianak, khususnya di panti-panti sosial, diperkuat agar insiden serupa tidak terulang di masa mendatang. Perlindungan anak adalah tanggung jawab kita bersama.
