
Soal Rangkap Jabatan di BUMN, Wamenlu: Kami Ikuti Putusan MK
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arif Havas Oegroseno memberikan tanggapan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai larangan wakil menteri (wamen) untuk merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang mana gugatan tersebut dinyatakan tidak diterima. Arif Havas Oegroseno saat ini juga menduduki posisi sebagai Komisaris PT Pertamina International Shipping (PIS).
"Ini adalah masalah hukum, it’s a legal issue. Persoalan yang dibahas adalah mengenai putusan MK, yang notabene adalah ranah hukum. Jika MK memutuskan bahwa rangkap jabatan tidak diperbolehkan, maka kita harus patuh dan menyesuaikan diri dengan hukum dan regulasi yang berlaku," ungkapnya seusai menghadiri sebuah diskusi di Retro Cafe, Cilandak, Jakarta Selatan, pada hari Sabtu, 19 Juli 2025.
Meskipun isu rangkap jabatan wamen ini menuai kritik dari berbagai pihak, Arif Havas Oegroseno enggan memberikan komentar yang lebih mendalam. Ia menegaskan bahwa pihaknya akan mengikuti apa pun yang menjadi keputusan MK. "Ya, karena ini adalah keputusan MK, maka kita akan mengikuti keputusan tersebut," imbuhnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa amar putusan MK tidak secara eksplisit menyatakan bahwa wamen dilarang untuk merangkap jabatan di BUMN. Ia berpegang pada amar putusan yang menyatakan bahwa gugatan yang diajukan tersebut tidak dapat diterima oleh MK.
Sebelumnya, MK memang telah menolak gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pembacaan putusan tersebut dilaksanakan di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, pada hari Kamis, 17 Juli 2025.
Terdapat dua gugatan terhadap UU tersebut yang tidak diterima oleh MK. Gugatan pertama, dengan nomor perkara 21/PUU-XXIII/2025, diajukan oleh Juhaidy Rizaldy Roringkon. Sementara gugatan kedua adalah permohonan dengan nomor perkara 35/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Vito Jordan Ompusunggu dan rekan-rekannya.
Dalam gugatan pertama, pemohon meminta kepada MK untuk melarang menteri dan wakil menteri untuk merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN maupun perusahaan swasta. Namun, MK memutuskan untuk tidak menerima permohonan ini karena pemohon, Juhaidy Rizaldy Roringkon, telah meninggal dunia pada tanggal 22 Juni 2025.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan bahwa apabila permohonan tersebut dikabulkan, maka anggapan mengenai hak konstitusional yang dialami oleh Pemohon tidak akan lagi terjadi. "Karena Pemohon telah meninggal dunia, maka seluruh syarat anggapan kerugian konstitusional yang didalilkan pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi oleh pemohon," ujarnya saat membacakan amar putusan yang disiarkan melalui kanal YouTube.
Sementara itu, permohonan dengan nomor perkara 35/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Vito Jordan Ompusunggu juga tidak diterima oleh MK. Dalam gugatannya, pemohon meminta MK untuk melarang menteri untuk merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik. MK menolak gugatan tersebut karena pemohon dinilai tidak dapat menunjukkan hubungan antara Pasal 23 huruf c UU Kementerian Negara yang digugat dengan kerugian hak konstitusional yang mereka alami.
MK menilai bahwa anggapan kerugian hak konstitusional yang diajukan oleh pemohon tidak jelas. Menurut MK, pemohon juga tidak terdampak langsung oleh aturan tersebut karena tidak terafiliasi dengan partai politik mana pun.
Selain Vito Jordan Ompusunggu, pemohon lain dalam Perkara Nomor 35/PUU-XXIII/2025 adalah Stanley Vira Winata, Kaka Effelyn Melati Sukma, dan Keanu Leandro Pandya Rasyah, yang berasal dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. Tim kuasa hukum mereka terdiri dari Abu Rizal Biladina, Hafsha Hafizha Rahma, dan Jhonas Nikson. Abu Rizal Biladina dan Hafsha Hafizha Rahma merupakan mahasiswa aktif di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), sedangkan Jhonas Nikson baru saja lulus dari FHUI.
Gugatan terhadap Pasal 23 huruf c UU tersebut diajukan karena dianggap melanggar hak konstitusional pemohon, mengingat banyaknya menteri yang merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik.
Dalam dokumen gugatan yang sebelumnya dilihat oleh Tempo, pemohon melihat bahwa kondisi status quo saat ini sudah tidak ada lagi checks and balances. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan dari struktur hukum tata negara, dimulai dari larangan bagi menteri untuk merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik.
Pasal 23 huruf c UU tersebut secara tegas menyatakan bahwa menteri dilarang untuk merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Analisis Lebih Mendalam:
Putusan MK terkait dengan rangkap jabatan ini menjadi sorotan publik karena menyangkut prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Rangkap jabatan, terutama di BUMN, seringkali dianggap menimbulkan konflik kepentingan dan berpotensi menghambat efektivitas kinerja.
Potensi Konflik Kepentingan:
Ketika seorang pejabat publik, seperti wakil menteri, merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN, terdapat potensi konflik kepentingan yang signifikan. Sebagai wakil menteri, ia memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan yang dapat mempengaruhi BUMN tersebut. Sementara sebagai komisaris, ia memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan memastikan kinerja BUMN tersebut optimal. Kondisi ini dapat menciptakan situasi di mana kepentingan pribadi atau golongan dapat mengalahkan kepentingan publik.
Efektivitas Kinerja:
Rangkap jabatan juga dapat mempengaruhi efektivitas kinerja pejabat yang bersangkutan. Mengemban dua jabatan sekaligus membutuhkan alokasi waktu dan energi yang besar. Hal ini dapat menyebabkan pejabat tersebut tidak dapat fokus sepenuhnya pada salah satu jabatan, sehingga kinerjanya menjadi tidak optimal. Selain itu, rangkap jabatan juga dapat menimbulkan kesan bahwa pejabat tersebut serakah dan hanya mengejar kekuasaan serta keuntungan pribadi.
Implikasi Hukum dan Politik:
Meskipun MK tidak menerima gugatan terkait larangan rangkap jabatan, isu ini tetap menjadi perdebatan publik. Secara hukum, putusan MK memang mengikat dan harus diikuti. Namun, secara politik, isu ini dapat terus digulirkan oleh pihak-pihak yang tidak setuju dengan rangkap jabatan.
Tinjauan Etika dan Moral:
Selain aspek hukum dan politik, rangkap jabatan juga perlu ditinjau dari aspek etika dan moral. Sebagai pejabat publik, seharusnya mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Rangkap jabatan dapat menimbulkan keraguan terhadap integritas dan komitmen pejabat tersebut dalam melayani publik.
Perlunya Regulasi yang Lebih Tegas:
Untuk menghindari potensi konflik kepentingan dan meningkatkan efektivitas kinerja, perlu adanya regulasi yang lebih tegas mengenai rangkap jabatan. Regulasi ini harus secara jelas mengatur jabatan-jabatan apa saja yang tidak boleh dirangkap, serta sanksi yang akan diberikan jika terjadi pelanggaran.
Transparansi dan Akuntabilitas:
Selain regulasi yang tegas, transparansi dan akuntabilitas juga merupakan kunci untuk mencegah penyalahgunaan wewenang akibat rangkap jabatan. Pejabat yang merangkap jabatan harus secara terbuka melaporkan seluruh penghasilan dan aset yang dimilikinya. Selain itu, kinerja pejabat tersebut juga harus dievaluasi secara berkala dan hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat.
Peran Masyarakat Sipil:
Masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengontrol praktik rangkap jabatan. Melalui berbagai kegiatan advokasi dan kampanye, masyarakat sipil dapat mendorong pemerintah untuk membuat regulasi yang lebih tegas dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas pejabat publik.
Kesimpulan:
Meskipun MK tidak menerima gugatan terkait larangan rangkap jabatan, isu ini tetap menjadi perhatian publik. Potensi konflik kepentingan, efektivitas kinerja, dan aspek etika serta moral menjadi pertimbangan penting dalam menanggapi isu ini. Perlunya regulasi yang lebih tegas, transparansi, akuntabilitas, dan peran aktif masyarakat sipil menjadi kunci untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Tanggapan Wamenlu Arif Havas Oegroseno yang mengikuti putusan MK adalah langkah yang tepat, namun isu ini perlu dikawal agar tidak disalahartikan sebagai pembenaran atas praktik rangkap jabatan yang berpotensi merugikan negara dan masyarakat. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan bahwa rangkap jabatan tidak menjadi celah bagi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
