
Sri Mulyani Sebut Jumlah Kementerian dan Lembaga Naik Drastis di Era Prabowo
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti peningkatan signifikan jumlah kementerian dan lembaga pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Hal ini diungkapkan dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin, 14 Juli 2025. Rapat tersebut secara khusus membahas rencana kerja dan pagu indikatif Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk tahun anggaran 2026.
Dalam presentasinya di hadapan anggota Komisi XI, Sri Mulyani menekankan luasnya jangkauan pengelolaan dan tanggung jawab Kemenkeu. "Seluruh kementerian/lembaga sekarang jumlahnya 99, naik cukup drastis dari tahun lalu yang 86 K/L," ujarnya, mengindikasikan adanya penambahan 13 entitas dalam satu tahun. Peningkatan ini tentu saja berdampak pada kompleksitas koordinasi dan pengelolaan anggaran negara.
Selain kementerian dan lembaga, Kemenkeu juga berurusan dengan sejumlah besar pemangku kepentingan lainnya, termasuk 546 pemerintah daerah, 75.266 desa, 19.439 satuan kerja, 82,23 juta wajib pajak, dan 148 ribu eksportir-importir. Beban kerja Kemenkeu juga mencakup pengelolaan transaksi harian yang sangat besar, seperti lebih dari 2,3 juta faktur pajak, 22.894 dokumen Surat Perintah Membayar (SPM), dan 39.680 dokumen pabean. Sri Mulyani menekankan bahwa volume kegiatan yang sangat besar ini memerlukan investasi dalam sistem dan teknologi, bukan hanya penambahan personel. "Ini adalah volume kegiatan yang harus dijawab tidak selalu dengan menambah orang, tapi investasi di bidang sistem," tegasnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menyoroti target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Proyeksi penerimaan negara untuk tahun ini mencapai Rp 3.004,5 triliun, meningkat 2,03 persen secara tahunan. Belanja pemerintah pusat diperkirakan sebesar Rp 2.701,4 triliun, naik 2,34 persen secara tahunan. Transfer ke daerah dialokasikan sebesar Rp 919,87 triliun, naik 0,62 persen secara tahunan. Pembiayaan utang diproyeksikan sebesar Rp 775,9 triliun, naik 1,28 persen secara tahunan. Pengelolaan aset negara ditargetkan sebesar Rp 13.692,36 triliun, naik 7,57 persen secara tahunan.
Dalam rapat tersebut, Kemenkeu mengajukan permintaan anggaran tambahan sebesar Rp 4,88 triliun. Dengan demikian, pagu indikatif yang diusulkan untuk tahun 2026 meningkat menjadi Rp 52,017 triliun, dari yang sebelumnya Rp 47,13 triliun. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan bahwa anggaran sebesar Rp 47,13 triliun dialokasikan untuk belanja pegawai, operasional kantor, serta pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tusi) dasar minimal. "Dan untuk itu memang belum memasukkan kegiatan-kegiatan strategis yang perlu tambahan anggaran," ungkap Suahasil.
Suahasil merinci bahwa tambahan anggaran Rp 4,88 triliun sangat diperlukan untuk empat kegiatan strategis. Pertama, dukungan pencapaian target penerimaan dengan anggaran Rp 1,2 triliun. Kedua, layanan mandatory dan prioritas sebesar Rp 1,74 triliun. Ketiga, belanja teknologi informasi dan komunikasi yang belum terdanai sebesar Rp 1,9 triliun. Keempat, kebutuhan dasar unit eselon I baru sebesar Rp 41,32 miliar.
Pernyataan Sri Mulyani mengenai peningkatan jumlah kementerian dan lembaga di era pemerintahan Presiden Prabowo memicu berbagai spekulasi dan analisis. Beberapa pihak berpendapat bahwa penambahan ini merupakan respons terhadap kebutuhan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan politik dan kelompok pendukung. Sementara yang lain berpendapat bahwa hal ini mencerminkan upaya untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dengan membentuk unit-unit khusus yang menangani isu-isu spesifik.
Namun, terlepas dari alasan di balik peningkatan ini, dampak finansial dan operasionalnya jelas signifikan. Penambahan 13 kementerian/lembaga dalam satu tahun akan memerlukan alokasi anggaran yang lebih besar untuk gaji pegawai, operasional kantor, dan program-program yang dijalankan. Selain itu, koordinasi antar kementerian/lembaga juga akan menjadi lebih kompleks, yang berpotensi menghambat pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
Penting untuk dicatat bahwa peningkatan jumlah kementerian dan lembaga bukanlah fenomena baru dalam sejarah pemerintahan Indonesia. Setiap pergantian kepemimpinan sering kali disertai dengan perubahan struktur organisasi pemerintahan, baik melalui pembentukan kementerian/lembaga baru, penggabungan atau pemecahan yang sudah ada, maupun perubahan nomenklatur. Namun, skala peningkatan yang terjadi di era pemerintahan Presiden Prabowo tampaknya lebih signifikan dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya.
Implikasi dari peningkatan jumlah kementerian dan lembaga ini perlu dicermati secara seksama. Pemerintah perlu memastikan bahwa penambahan ini benar-benar memberikan nilai tambah bagi efektivitas pemerintahan dan pelayanan publik. Selain itu, pemerintah juga perlu mengelola anggaran secara efisien dan transparan untuk menghindari pemborosan dan penyalahgunaan anggaran.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan apakah peningkatan jumlah kementerian dan lembaga ini sejalan dengan upaya reformasi birokrasi yang telah lama digaungkan. Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi yang lebih efisien, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Jika peningkatan jumlah kementerian dan lembaga justru memperumit birokrasi dan meningkatkan biaya operasional, maka hal ini akan bertentangan dengan tujuan reformasi birokrasi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap kinerja dan efektivitas masing-masing kementerian dan lembaga, termasuk yang baru dibentuk. Evaluasi ini harus mempertimbangkan berbagai aspek, seperti pencapaian target kinerja, efisiensi penggunaan anggaran, kualitas pelayanan publik, dan dampak terhadap pembangunan nasional. Hasil evaluasi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan dan penyesuaian yang diperlukan, termasuk kemungkinan penggabungan atau penghapusan kementerian/lembaga yang tidak efektif.
Peningkatan jumlah kementerian dan lembaga juga perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) aparatur. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kementerian dan lembaga memiliki SDM yang kompeten dan profesional untuk menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan, pendidikan, dan pengembangan karir yang berkelanjutan.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemanfaatan TIK dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan transparansi birokrasi. Pemerintah perlu berinvestasi dalam pengembangan sistem dan infrastruktur TIK yang modern dan terintegrasi.
Peningkatan jumlah kementerian dan lembaga di era pemerintahan Presiden Prabowo merupakan isu yang kompleks dan multidimensional. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa penambahan ini memberikan manfaat yang optimal bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini memerlukan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang cermat, dan evaluasi yang berkelanjutan.
Penting juga bagi masyarakat untuk mengawasi dan memberikan masukan terhadap kinerja pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pengambilan keputusan dapat membantu memastikan bahwa pemerintah bertindak secara akuntabel dan transparan. Dengan demikian, diharapkan peningkatan jumlah kementerian dan lembaga dapat memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan Indonesia.
Terakhir, perlu diingat bahwa efektivitas pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh jumlah kementerian dan lembaga, tetapi juga oleh kualitas kepemimpinan, koordinasi antar lembaga, dan partisipasi masyarakat. Pemerintah perlu berfokus pada peningkatan kualitas semua aspek ini untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
