
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), TB Hasanuddin, mendesak percepatan penanganan kasus selebgram Warga Negara Indonesia (WNI) berinisial AP yang saat ini ditahan oleh otoritas di Myanmar. Kasus ini mencuat ke permukaan publik dan menjadi perhatian serius, mengingat tuduhan berat yang dialamatkan kepada AP, yakni terlibat dalam aktivitas yang dituding sebagai pembiayaan pemberontakan oleh pemerintah Myanmar. Hasanuddin menegaskan bahwa pihaknya terus berkoordinasi secara intensif dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk memastikan penanganan yang cepat dan tepat terhadap warga negaranya.
Dalam keterangannya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (2/7), TB Hasanuddin menjelaskan bahwa komunikasi terus terjalin dengan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI BHI) Kemlu, Judha Nugraha, serta Duta Besar Indonesia yang bertugas di Myanmar. Fokus utama dari koordinasi ini adalah untuk memahami secara mendalam duduk perkara dan mencari solusi terbaik bagi AP. "Kita terus informasikan dan kita koordinasi dengan Pak Judha sebagai Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan tentu dengan Dubes terkait di sana," ujar TB Hasanuddin, menyoroti urgensi situasi.
Menurut politisi dari Fraksi PDI Perjuangan ini, percepatan penanganan kasus AP menjadi sangat krusial. Ia khawatir jika proses penanganan berlarut-larut, AP dapat dianggap sebagai warga negara Myanmar. Kekhawatiran ini beralasan, mengingat postur fisik antara masyarakat Indonesia dan Myanmar yang tidak terlalu berbeda, sehingga potensi kesalahpahaman atau klaim kewarganegaraan oleh otoritas setempat bisa saja terjadi jika tidak ada intervensi cepat dan tegas dari pihak Indonesia. "Memang negara-negara seperti Myanmar, itu memang, ya, sedang bergejolak dan kemudian postur kita, kan, tidak terlalu beda. Kalau sudah lama malah dianggap jadi warga negara mereka dan itu akan terus dilakukan penelitian, kemudian pendalaman sejauh mana," sambungnya, menjelaskan risiko yang mungkin timbul dari penundaan.
TB Hasanuddin juga menekankan bahwa kasus yang menjerat AP di Myanmar ini masih dalam tahap penyidikan oleh aparat keamanan Myanmar. Oleh karena itu, belum dapat disimpulkan secara definitif apakah AP benar-benar terlibat dalam mendanai pemberontak atau tidak. Informasi yang beredar masih perlu diverifikasi lebih lanjut. "Jadi belum final, terlibat betul apa tidak. Saya tidak bisa memberikan kesan dulu. Kita tunggu lah dalam beberapa hari," ucapnya, meminta publik untuk bersabar dan tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Ia menambahkan, "Mohon bersabar untuk terus kita komunikasikan." Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia sedang berupaya maksimal untuk mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap mengenai kondisi AP serta tuduhan yang dihadapkan kepadanya.
Kabar mengenai penahanan selebgram WNI ini pertama kali diungkapkan oleh anggota Komisi I DPR lainnya, Abraham Sridjaja, saat rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pada Senin (30/6). Setelah itu, Kementerian Luar Negeri melalui Judha Nugraha, membenarkan informasi tersebut, sekaligus memberikan klarifikasi awal mengenai tuduhan yang menimpa AP. Kemlu menyebutkan bahwa AP ditangkap bukan karena mendanai pemberontakan, melainkan karena melakukan pertemuan dengan kelompok bersenjata yang dianggap terlarang oleh pemerintah Myanmar. Klarifikasi ini penting untuk meluruskan persepsi publik mengenai tingkat keterlibatan AP.
Judha Nugraha merinci bahwa AP ditangkap oleh otoritas Myanmar pada tanggal 20 Desember 2023. "AP dituduh memasuki wilayah Myanmar secara ilegal dan kemudian melakukan pertemuan dengan kelompok bersenjata yang dikategorikan sebagai organisasi terlarang oleh otoritas setempat," ujar Judha kepada wartawan pada Selasa (1/7). Meskipun Kemlu hanya menyebut inisial AP, nama selebgram yang dimaksud telah banyak dikaitkan dengan desainer dan influencer kontroversial Arnold Putra, yang dikenal dengan gaya hidupnya yang unik dan koleksi barang-barang tak lazim. Namun, Kemlu secara resmi tetap menggunakan inisial AP untuk merujuk pada individu yang bersangkutan.
AP Divonis 7 Tahun Penjara di Myanmar
Perkembangan terkini yang mengejutkan adalah bahwa pemerintah Myanmar telah membawa AP ke persidangan dan menjatuhkan vonis terhadapnya. AP divonis tujuh tahun penjara setelah melalui proses pengadilan. Vonis ini dijatuhkan berdasarkan pelanggaran Undang-Undang Anti-Terorisme, Undang-Undang Keimigrasian 1947, dan Section 17(2) Unlawful Associations Act, yang semuanya merupakan hukum-hukum serius di Myanmar, terutama di bawah pemerintahan militer saat ini. Saat ini, AP menjalani hukuman penjara di Penjara Insein, Yangon, Myanmar, sebuah fasilitas penahanan yang dikenal ketat dan sering menjadi sorotan internasional terkait kondisi hak asasi manusia.
Sejak awal penangkapan AP, pihak keluarga telah meminta bantuan dan pendampingan hukum kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangon. KBRI Yangon, sebagai perwakilan diplomatik Indonesia di Myanmar, telah melakukan berbagai upaya perlindungan secara komprehensif. "Sejak awal penangkapan, KBRI Yangon telah melakukan berbagai upaya perlindungan, antara lain, mengirimkan nota diplomatik, melakukan akses kekonsuleran dan pendampingan langsung saat pemeriksaan, memastikan pembelaan pengacara serta memfasilitasi komunikasi antara AP dan keluarganya," sambung Judha. Upaya-upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk melindungi hak-hak warga negaranya di luar negeri, meskipun dalam situasi yang sangat menantang.
Kasus AP ini terjadi di tengah gejolak politik dan keamanan yang parah di Myanmar. Sejak kudeta militer pada Februari 2021, negara tersebut telah dilanda konflik internal yang meluas antara junta militer dan berbagai kelompok perlawanan, termasuk Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) yang baru terbentuk dan berbagai Kelompok Etnis Bersenjata (EAO) yang telah lama beroperasi. Kondisi ini membuat Myanmar menjadi zona yang sangat berbahaya, di mana aktivitas apapun yang dapat diinterpretasikan sebagai dukungan terhadap kelompok perlawanan akan ditindak tegas oleh junta. Hukum-hukum yang diterapkan oleh junta militer seringkali tidak transparan dan cenderung keras, dengan sedikit ruang untuk pembelaan yang adil, terutama bagi warga negara asing yang dituduh melanggar hukum.
Undang-Undang Anti-Terorisme dan Undang-Undang Asosiasi Ilegal yang diterapkan di Myanmar adalah alat kuat bagi junta untuk menumpas oposisi dan membatasi kebebasan sipil. Pertemuan dengan kelompok bersenjata, terlepas dari tujuan sebenarnya, dapat dengan mudah dikategorikan sebagai tindakan terorisme atau dukungan terhadap organisasi terlarang. Hal ini menjelaskan mengapa vonis yang dijatuhkan kepada AP begitu berat, yakni tujuh tahun penjara. Meskipun Kemlu mengklarifikasi bahwa AP "bertemu" dan bukan "mendanai," dalam konteks hukum Myanmar yang berlaku, perbedaan ini mungkin tidak terlalu signifikan di mata otoritas.
Peran Komisi I DPR dalam kasus ini sangat penting. Sebagai mitra kerja Kementerian Luar Negeri, Komisi I memiliki fungsi pengawasan terhadap kebijakan luar negeri dan perlindungan WNI di luar negeri. Keterlibatan TB Hasanuddin dan Abraham Sridjaja menunjukkan bahwa parlemen sangat serius menanggapi kasus-kasus yang menimpa warga negara Indonesia di luar negeri, terutama di negara-negara yang berkonflik. Mereka bertindak sebagai jembatan antara pemerintah dan publik, memastikan bahwa upaya perlindungan dilakukan secara maksimal dan transparan. Desakan untuk percepatan penanganan juga mencerminkan pemahaman mereka tentang dinamika hukum dan politik di Myanmar yang tidak stabil.
Kasus AP juga menyoroti kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh Kemlu dan perwakilan diplomatik Indonesia dalam memberikan perlindungan kepada WNI. Di negara-negara seperti Myanmar yang kondisi politiknya tidak stabil dan sistem hukumnya kurang transparan, upaya akses kekonsuleran dan pendampingan hukum seringkali terhambat. KBRI Yangon harus menavigasi birokrasi yang rumit, keterbatasan akses terhadap tahanan, dan potensi tekanan politik. Meskipun demikian, komitmen untuk terus memberikan pendampingan hukum, memfasilitasi komunikasi dengan keluarga, dan memastikan hak-hak dasar AP tetap terpenuhi adalah prioritas utama.
Masa depan AP di Penjara Insein masih menjadi tanda tanya. Pihak KBRI kemungkinan akan terus mengeksplorasi semua jalur hukum yang tersedia, termasuk kemungkinan pengajuan banding terhadap vonis yang dijatuhkan. Namun, proses banding di bawah sistem peradilan Myanmar yang dikuasai militer bisa jadi sangat sulit dan memakan waktu. Selain itu, upaya diplomatik tingkat tinggi mungkin juga akan dipertimbangkan, meskipun harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak memperkeruh hubungan bilateral atau memperburuk kondisi AP.
Kasus selebgram AP adalah pengingat yang kuat bagi seluruh WNI tentang risiko bepergian ke negara-negara yang sedang dilanda konflik atau memiliki stabilitas politik yang rapuh. Pemahaman mendalam mengenai hukum dan kondisi sosial-politik setempat sangat penting untuk menghindari masalah hukum. Pemerintah Indonesia, melalui Kemlu dan perwakilan diplomatiknya, akan terus berupaya maksimal untuk melindungi warganya di mana pun mereka berada. Desakan TB Hasanuddin untuk percepatan penanganan mencerminkan urgensi dan komitmen kolektif dari negara untuk memastikan keadilan bagi AP, sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh WNI agar selalu berhati-hati dalam setiap perjalanan ke luar negeri.
